GENGGONG – Pesantren merupakan aset bangsa yang sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun. Sejak saat itu pula, pesantren hidup beriringan dengan kehidupan masyarakat melalui berbagai pelayanannya. Seperti, sebagai sentral rujukan keagamaan, pendidikan, kesehatan, termasuk dalam bidang ekonomi.
Hal itu, diungkapkan oleh KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah, pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, ketika memberikan sambutan dalam wisuda Stikes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kamis (25/10/2018) di gedung Islamic Center (GIC) Kota Kraksaan.
Menurut kiai Mutawakkil, keberadaan pesantren yang sudah ada sejak lama itu, membuat pesantren memiliki pengalaman dan kedewasaan dalam hal pendekatan kepada masyarakat dan umat di berbagai bidang kehidupan. “Pesantren Zainul Hasan Genggong dan pesantren-pesantren yang lain bukan hanya puluhan bahkan ratusan tahun bergerak aktif, hidup bersama masyarakat. Pesantren Zainul Hasan Genggong Sendiri sudah berusia 179 tahun,” ungkap kiai Mutawakkil.
KiaI Mutawakkil mengungkapkan, eksistensi pesantren sUdah diakui banyak pihak. Termasuk di kalangan ilmuwan, baik nasional maupun internasional. Salah satunya, Clifford Geertz, ilmuwan dari Amerika Serikat yang mengatakan pesantren di Indonesia merupakan cultural broker (Makelar budaya) di tengah-tengah kehidupan masyarakat. “Artinya, pesantren-pesantren di Indonesia ini bisa memediasi antara budaya luar dengan budaya lokal ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pesantren bisa hidup dalam keragaman dan pesantren bisa menjadi teladan dalam kehidupan keragaman,” katanya.
Kiai Mutawakkil mencontohkan, dalam wisuda Stikes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kamis (25/10/2018) kemarin, dari ratusan wisudawan itu, beberapa diantaranya merupakan non muslim. “Ada yang non muslim menempuh pendidikannya disini. Saya tadi yang mewisuda. Itu bukan hanya dari Jawa Timur, ada juga dari luar Jawa. Kita memiliki kesamaan, kita adalah anak-anak bangsa,” jelasnya.
Tidak heran jika kontribusi pesantren diakui pemerintah sejak orde lama, orde baru hingga reformasi. Yakni, dengan menjadikan pesantren bagian dari subjek pembangunan. Berbeda dengan sebelumnya, dimana pesantren hanya dijadikan objek pembangunan. “Itu mulai Gus Dur menjadi presiden sekitar tahun 2000-an. Tahun itu, sama dengan berdirinya Akper Hafshawaty. Karena waktu itu, saya di perintah Gus Dur mendirikan akademi kesehatan. Modalnya hanya nekat, serta untuk melanjutkan misi pesantren, yaitu memberikan pelayanan putra putri bangsa, khususnya putra putri umat,” lanjut kiai Mutawakkil.
Para ilmuwan juga mengakui pesantren merupakan agent of change atau pelaku perubahan. Menurutnya, salah jika pemerintah menjadikan pesantren sebagai objek perubahan dan objek pembangunan. “Alhamdulillah mulai Gus Dur dan puncaknya presiden Jokowi pesantren dijadikan subjek pembangunan,” kata kiai yang pernah 2 periode menjabat ketua PWNU Jawa Timur ini.
Menurutnya, lulusan pesantren, saat ini banyak yang menjadi pejabat dan ada dimana-mana. seperti menjadi birokrat, politisi, pelaku usaha dalam berbagai aspek usaha, termasuk menjadi kepala Kemenag. “Sekarang sudah berubah. Oleh karena itu, saya bahagia, saya utamakan ini (hadir di wisuda Stikes) karena ini adalah misi pesantren dalam memberikan pelayan kepada putra putri umat,” ujar kiai Mutawakkil. (*)