Teladan KH Hasan Saifouridzall
KH. Hasan Saifourridzal
KH. Hasan Saifourridzal

Sebuah pemandangan tak jamak pernah ditonton banyak orang di suatu waktu, pada jaman lampau. Sekitar tahun 1952, beberapa orang yang pernah menyaksikan kejadian itu mungkin saja masih hidup sampai saat ini. Pemandangan itu tersaji ketika seorang putra bertemu ibundanya. Selanjutnya peristiwa itu pun terjadi dengan banyak kesaksian.

Bersama istrinya, sang putra ini baru saja datang dari tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan banyak orang, sang putra itu merendahkan badannya di depan ibunya. Sejurus kemudian, kedua lututnya menyentuh tanah. Kepalanya semakin rendah, menunduk dan terus menunduk. Sementara sang ibu masih tetap berdiri melihat putranya sedemikian rapuh di hadapannya.

Apalagi ketika wajah putranya itu, mengecup telapak kaki sang ibu yang melihat putranya duduk dengan lutut bersimpuh. Sosok itu bukan seorang bocah, atau remaja, atau calon ustadz. Melainkan seorang kiai. Namanya adalah KH Hasan Saifouridzall. Baktinya kepada orang tua seakan tanpa batas. Ibundanya, Nyai Hajjah Siti Aminah, serta Ayahandanya KH Mohammad Hasan, tentu paham benar sikap putranya itu.

Kiai Hasan Saifouridzall terlahir dengan nama Ahsan. Terlahir pada 28 Oktober 1928 atau bersamaan dengan 13 Jumadil Awal 1347 H di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. Ayahanda dan ibunda beliau adalah KH Mohammad Hasan dan Nyai Hj Siti Aminah binti H Bakri.

Beliau merupakan khalifah ketiga Ponpes Genggong. Didirikan oleh KH Zainal Abidin pada awal abad 19, pengasuh kedua ponpes ini adalah KH Mohammad Hasan. Beliau menjadi pengasuh pada kurun 1890-1952 masehi. KH Mohammad Hasan sendiri wafat pada 1955. Namun sebelum wafat, KH Mohammad Hasan menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada Kiai Hasan Saifouridzall pada 1952.

Kiai Hasan Saifouridzall adalah sosok yang kental dengan aroma Nahdlatul Ulama. Beliau tidak hanya seorang kiai kharismatik yang disegani, namun juga sebagai ayahanda yang baik bagi putra-putrinya. Di lain kehidupan, beliau juga melakukan banyak pengembangan bagi Ponpes Genggong.

Haul KH Hasan Saifourridzall
Haul KH Hasan Saifourridzall

Lain waktu, beliau juga seorang negarawan. Mengenakan setelan pakaian yang serasi. Berkopyah hitam di kala beliau sedang berada dan menghormati kedatangan rombongan para petinggi negara, baik sipil maupun militer. Pada waktu yang berbeda, beliau tampil sebagai akademisi dengan pakaian toga. Khas seorang intelektual dan cendikia saat menghadiri prosesi wisuda sarjana para mahasiswanya.

Sosok lain dari beliau adalah karismanya yang menonjol sebagai seorang da’i. Banyak yang menyebut beliau sebagai singa podium. masyarakat akan dibuat tertawa, tersipu, dan tersenyum saat beliau menyampaikan kalimat, sindiran dan joke-joke segar yang menyentuk psikologis mereka.

Menilik pada sejarah panjang kehidupan beliau, patriotisme membela negara adalah salah satu bentuk ibadah dan pengabdiannya kepada bangsa. Seakan beriringan dengan semangat kelahiran sumpah pemuda yang bersamaan dengan kelahiran beliau.

Sebuah bukti, tak lain ketika terjadi agresi militer belanda ke-2 pada 1948. Kala itu usia beliau masih 20 tahun, Kiai Hasan Saifourdizall sudah memimpin perang gerilya di Tulangan, Sidoarjo. Beliau tergabung dalam laskar Hizbullah.

Sebelum terjun ke medan Sidoarjo, Kiai Hasan Saifourdizall pernah menggranat toko seorang antek Belanda. Usai menggranat, ia menyampaikan kejadian itu kepada sang ayahanda, KH Mohammad Hasan. Namun sang putra ditegur ayahanda. “Kok digranat nak? Nanti Belanda marah. Kasihanilah masyarakat,” tegur KH Mohammad Hasan.

KH. Hasan Saifourridzall 2
KH. Hasan Saifourridzall

Sejak kejadian itulah Kiai Hasan Saifourdizall diijinkan menjadi tentara dan bergabung dengan pasukan Hizbullah. Restu ayahandanya itu makin mendorong Ahsan untuk berjuang di garis terdepan.

Selanjutnya Kiai Hasan Saifouridzallmenikahi Nyai Hj Himami Hafshawati pada tahun 1952. Tak lama setelah itu, beliau diberi amanah untuk melanjutkan perjuangan sang ayahanda untuk memimpin pesantren. Padahal usia beliau masih tergolong muda, 24 tahun.

Prosesi penyerahan amanat itu cukup mengharukan. KH Mohammad Hasan memberikan sebuah peci berwarna putih. Peci itu dipakaikan langsung oleh beliau sebagai simbol pergantian kepemimpinan. Sejak itulah segala hal yang bersangkutan dengan pesantren diserahkan kepada Kiai Hasan Saifourdizall.

Meskipun amanah tersebut cukup berat, Kiai Hasan Saifourdizall menerima dengan tulus sebagai bentuk bakti kepada orang tua. Beliau yakin mampu menjalankan amanah itu termasuk orang yang pantang menolak tugas yang diserahkan pada Kiai Hasan Saifourdizall.

Kiprah Kiai Hasan Saifourdizall tidak hanya sebagai seorang kiai saja. Namun juga sebagai seorang politisi. Saat umat berada pada kejumudan politik pada medio 1980-an, beliau membuka kran komunikasi dengan berkiprah di salah satu parpol. Kiai Hasan pun duduk di kursi MPR pada periode 1987-1992.

Kiai Hasan Muda dikenal sosok pemuda yang cerdas. Kecerdasan itulah yang memudahkannya menuntut ilmu. Karena itu cukup sering Kiai Hasan Saifourdizall diajak sang ayahanda untuk mengikuti berbagai acara pengajian. Bahkan pernah diundang untuk berceramah di pengajian umum. Pertama kali menjadi mubaligh usia Kiai Hasan Saifourdizall masih 10 tahun. Saat itu, beliau masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI).

Selanjutnya pada usia 18 tahun atau pada 1946, Kiai Hasan Saifourdizall dimondokkan di sejumlah pesantren terkemuka. Di antaranya di Ponpes Tebu Ireng Jombang dan berguru kepada KH Hasyim Asy’ari. Lalu mondok di Ponpes Peterongan Jombang dan berguru kepada Kiai Romli. Selanjutnya juga mondok di Ponpes Lirboyo, Kediri yang diasuh Kiai Mahrus Ali.

Kiai Hasan Saifourdizall adalah sosok yang tak dibatasi ruang dan waktu sosial. Penampilan beliau cukup sederhana. Bersarung dan berkopyah putih, beliau dengan tekun, telaten, dan ajeg menuntun para santri untuk mengaji kitab kuning di Masjid Jamik Al-Barokah Genggong.

Setiap hari Minggu, beliau istiqamah membimbing umat dalam kegiatan pengajian di Majlis Taklim al-Ahadi. Sebuah komunitas jamaah yang sampai saat ini masih nampak eksistensinya. Pengajian itu selalu diakhiri dengan shalat dluhur jamaah. Pengajian itu disudahi dengan bersalaman kepada Sang Kiai, berharap doa barokah sekaligus bentuk penghormatan kepada beliau. Aktivitas ini beliau jalani secara istiqamah sepanjang hayat.

Semasa hidup, Kiai Hasan Saifourdizall banyak menjalin silaturahim dengan berbagai elemen masyarakat. Baik kalangan birokrasi, militer, masyarakat sipil, hingga tamu dari luar negeri. Tak heran jika banyak kunjungan penting ke Ponpes Genggong. Baik dalam rangka menjalin silaturrahim, hingga untuk kepentingan penelitian tentang dunia pesantren.

Beberapa tamu dari luar negeri bahkan tidak sekedar bersilaturrahmi. Tak sedikit dari mereka yang berniat untuk memondokkan putra-putrinya di Ponpes Genggong. Sebagian besar berasal dari Singapura, Malaysia, maupun Brunai Darussalam.

Kematangan pengetahuan beliau tak hanya di bidang yang lumrah dikenal seorang ulama. Namun beliau juga memiliki kemampuan menggubah syair, menciptakan lagu, hingga mengaransemen sendiri lagu tersebut. Vokalisnya adalah para santri sendiri, putra-putri. Pada 1990-an, sebuah album musik pesantren diterbitkan. Album ini cukup populer di kalangan sejumlah ponpes lain binaan Ponpes Genggong.

Lain lagi ketika Kiai Hasan berinisiatif membentuk grup drum band yang beranggotakan para santri. Awalnya langkah tersebut sempat ditentang kalangan ulama. Namun langkah itu justru diikuti kalangan ulama tersebut. Justru ponpes-ponpes lain berlomba-lomba membentuk drum band. Kiai Hasan Saifourdizall menunjukkan bahwa pesantren bukanlah kalangan yang kaku.

Jiwa seni rupanya cukup kuat mengalir dalam darah Kiai Hasan Saifourdizall. Bahkan hal itu tampak di waktu-waktu senggang. Misalnya untuk mengusir kegalauan dan kepenatan pikiran, beliau sering berdendang atau mendengarkan lagu. Baik lagu padang pasir, lagu barat ataupun instrumentalia. Bahkan juga lagu jenis love story, juga menjadi koleksi musik yang diidolakan beliau.

Tak bisa dipungkiri, nama besar KH Hasan Saifouridzall memang cukup kesohor. Baik sebagai ulama kharismatik, negarawan, bahkan sebagai seniman. Semua yang dikaruniakan Allah SWT itu, tidak begitu saja didapatkan. Banyak kisah pahit yang harus dialami ulama yang karib disebut Non Akhsan ini.

Kisah Non Akhsan semasa kecil, banyak memberikan gambaran betapa sulitnya beliau menjalani kehidupan. Tak banyak kisah indah yang beliau lalui kala itu. Hal itu bermula ketika kedua orang tua beliau, KH Mohammad Hasan dan Nyai Hj Siti Aminah mengalami firaq (perceraian). Pada perkembangannya, Non Akhsan menjalani kehidupan bersama sang ibunda.

Non Akhsan dan ibundanya pernah tinggal di Kabupaten Bondowoso selama beberapa saat. Selain itu ibu-anak ini juga tinggal di Jl KH Ahmad Dahlan, Kelurahan Kebonsari Kulon, Kecamatan Mayangan, (kini Kecamatan Kanigaran), Kota Probolinggo. Hingga kini, rumah tersebut ditempati kerabat Non Akhsan dari ibundanya.

Banyak kisah sedih yang harus beliau jalani selama kebersamaannya dengan Nyai Hj Siti Aminah. Riwayat yang berkembang di kalangan masyarakat, Non Akhsan juga turut membantu kehidupan ekonomi keluarganya. Beliau tak segan berjualan makanan ringan. Ya, beliau menjadi pedagang asongan.

Lokasinya berjualan kebanyakan di kawasan terminal Bayuangga. Namanya juga pedagang asongan, yang dijual tentu makanan seperti kacang, telur asin, permen, dan minuman. Tak hanya di terminal, beliau juga menjajakan dagangannya pada saat ada pertandingan sepakbola. Untuk melepas penat, sesekali beliau bermain bola bersama-sama teman sebayanya. Khususnya pada saat lapangan sepak bola tidak sedang digunakan. Beliau juga mengantarkan kacang goreng dan makanan ringan lainnya ke toko-toko.

Kondisi yang sama juga beliau lalui ketika masih tinggal di Kabupaten Bondowoso. Hal itu beliau jalani dengan ikhlas dan sabar. Sebagai seorang putra ulama besar, tentu kisah ini cukup memilukan. Namun beliau juga mampu menunjukkan kebesaran jiwa selama menjalani kehidupan tersebut. Tak mudah menjalani kehidupan sekeras itu bagi seorang anak manusia yang belum menginjak remaja.

Didikan yang tepat dari kedua orang tua membuat Non Akhsan tumbuh menjadi pribadi yang mengesankan. Beliau dikenal sebagai anak tawaddu (patuh). Sikap patuh yang tinggi diwujudkan dalam kesehariannya. Di hadapan sang ibunda, tak sekalipun Non Akhsan mengucapkan kata “tidak”. Khususnya ketika beliau diperintahkan untuk melakukan sebuah tugas.

Sikap itu juga ditunjukkan ketika ibundanya marah karena suatu hal. Non Akhsan hanya menundukkan kepala. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya sebagai bentuk membantah. Justru beliau memohon pada ibundanya agar sudi mengampuni kesalahannya. Sikap itu ditularkannya kepada kerabatnya yang lain.

Setiap kali Non Akhsan hendak keluar rumah, ia selalu berpamitan kepada sang ibunda. Ia akan keluar jika ibundanya mengijinkan. Namun sebelum benar-benar keluar rumah, Non Akhsan pasti menanyakan lebih dulu, apakah ibundanya membutuhkan Non Akhsan untuk sejumlah keperluan. Jika sang ibunda memerlukan, Non Akhsan pun mengurungkan niat keluar rumah.

Cara Non Akhsan berpamitan pada ibunya, tak seperti kebanyakan orang. Ia dengan sepenuh hati selalu mengecup sekujur telapak kaki ibundanyanya. Bicara kalimat bijak “surga di bawah telapak kaki ibu”, Non Akhsan sudah melakukannya sejak kecil, tanpa perlu mengucapkan kalimat itu sendiri.

Non Akhsan secara istiqamah berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat. Ia juga mengajak kerabatnya ke masjid. Tak hanya itu, beliau juga senantiasa membimbing bocah lain yang setara atau lebih muda usianya. Rutinitas beribadah di masjid itu beliau lakukan setiap hari, sepanjang hidupnya.

Non Akhsan pantang terlambat dalam menunaikan shalat berjamaah. Beliau memahami betul manfaat dari shalat berjamaah itu. Hal itu mendasari beliau untuk terus mengajak keluarganya, untuk istiqamah menunaikan ibadah shalat berjamaah di masjid.

Kehidupan Non Akhsan bersama ibunya boleh dibilang tidak serba berkecukupan.  Meski berangkat dari kondisi yang seperti itu, beliau masih bersemangat untuk menuntut ilmu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Beliau tercatat sebagai salah satu murid di bangku Madrasah Ibtidaiyah di wilayah Kota Probolinggo hingga kelas 5. Sementara pendidikan kelas 6 dijalani di sekolah rakyat (SR; setingkat SD) di Bondowoso pada tahun 1940.

Pada riwayat yang berbeda, suatu ketika pada tahun 1952, Non Akhsan baru datang dari tanah suci mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan disaksikan oleh seluruh anggota keluarganya, beliau langsung menciumi kaki ibundanya yang turut menyambut kedatangan Non Akhsan.

Memasuki usia 16 tahun, saat itu tahun 1944, Non Akhsan diminta untuk kembali ke Ponpes Genggong oleh sang ayahanda, KH Mohammad Hasan. Sang ibunda mengijinkan Non Akhsan berkumpul kembali dengan ayahandanya itu.

Panggilan sang ayahanda dipenuhi Non Akhsan. Sekitar 2 tahun hingga berusia 18 tahun, Non Akhsan menuntut ilmu di Ponpes Genggong. Beliau belajar langsung di bawah bimbingan dan pengawasan ayahandanya.

Makbaroh KH. Hasan Saifourridzall
Makbaroh KH. Hasan Saifourridzall

Pada tahun 1946 atau pada saat usia beliau 18 tahun, Non Akhsan berangkat menuntut ilmu di sejumlah pondok pesantren. Khususnya Ponpes yang diasuh oleh sahabat-sahabat ayahandanya saat mondok di Madura. Di antaranya Pesantren Tebu Ireng Jombang, di mana Non Akhsan berguru kepada KH Hasyim Asy’ari. Beliau juga sempat mengenyam pendidikan di Ponpes Peterongan, Jombang, dan juga Ponpes Lirboyo, Kediri.

Begitulah Non Akhsan menjalani kehidupan masa kecil. Jauh dari kemewahan, tentu jauh pula dari sifat manja. Bahkan kehidupan yang dijalani cenderung sulit. Namun justru itulah yang menempa kekuatan iman, taqwa, dan juga kecerdasan beliau. Non Akhsan dikenal sebagai seorang anak yang cerdas. Kecerdasan itu membuat beliau mudah mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hingga nama besarnya pun tetap harum tak tergerus masa.*

Sumber: Majalah Genggong Edisi 4-5

Tinggalkan Balasan