Bagi kebanyakan orang Probolinggo, sosok Kiai Sholeh Nahrawi, atau biasa dipanggil Nun Kalim tidaklah asing. Hampir setiap hari, rumah Nun Kalim yang terletak bersebelahan dengan masjid jami’ Al Barakoh Genggong, selalu dibanjiri tamu yang hendak sowan untuk sekedar meminta nasehat dan do’a. Bahkan tak jarang para tamu harus antri karena ruangan tamu yang tak lagi muat bagi mereka.
Dikalangan masyarakat, sosok Nun Kalim adalah ulama yang membenci kemubadziran, tapi mencintai kebersahajaan, pemurah dan menghargai tamu yang hendak bersilaturrahim. Menurut penuturan khadam Nun Kalim, Arianto, warga Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo menyebutkan, Nun Kalim selalu memberi makan tamu seperti apa yang Nun Kalim makan.
Meski para tamu perhari mencapai puluhan hingga ratusan orang, tetap saja Nun Kalim memberikan makan kepada mereka. Dan bagi Nun Kalim, tamu yang datang kepadanya harus menerima makanan, dan menghabiskan makanan yang Beliau berikan. Jika tidak, Beliau akan marah, bahkan tak segan meminta tamunya untuk tidak menemuinya lagi.
Tentu sikap memberikan pelayanan maksimal oleh Nun Kalim terhadap para tamu yang datang tidak banyak kita temui terhadap masyarakat modern yang lebih mengedepankan sikap individualistik dalam menjalani kehidupannya. Bahkan tak jarang, mereka menutup diri terhadap orang lain, selain orang tertentu yang ia suka.
Apa yang dilakukan Nun Kalim, merupakan sebuah pelajaran yang tentu ingin diberikan kepada tamu bagaimana menghargai orang lain yang bertandang, serta bagaimana seseorang menghargai setiap butir makanan yang tersaji dari jerih payah yang membuat untuknya.
Tentu sikap yang dicontohkan Nun Kalim merupakan tauladan yang perlu kita terapkan, serta ajarkan terhadap keluarga dan lingkungan disekitar kita. Karena kita ketahui bersama,saat ini perilaku membuang makanan yang sebenarnya masih layak untuk kita makan mulai menjadi sesuatu yang lumrah. Padahal dalam ajaran Islam sendiri, perilaku seseorang yang menyianyiakan makanan adalah terlarang. Yakni mubadzir. Hal ini sebagaimana termaktub dalam surat Al- Isro ayat 26-27 yang menyebutkan:
“ Dan berikanlah kepada kepada keluarga–keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang ada dalam perjalanan; janganlah kamu menghamburkan (hartamu) dengan boros. Sesungguhnya pemboros–pemboros itu adalah saudara-saudaranya setan, dan sesungguhnya setan itu ingkar kepada tuhannya”.
Pada ayat tersebut, terutama pada ayat ke 27, Allah mengingatkan kepada kita betapa buruknya sifat boros. Mereka bahkan dikatakan saudaranya setan. Orang yang boros, berarti orang yang membelanjakan hartanya dalam perkara yang tidak mengandung manfaat berarti. Namun, boros tidak hanya berkonotasi terhadap membelanjakan harta. Menyianyiakan makanan yang ada adalah termasuk bagian mubadzir alias pemborosan.
Arianto bahkan menambahkan, selain menjaga agar makanan yang dimakan tamu, dan orang terdekatnya seperti khaddam tidak tersisa, Nun Kalim acapkali memerintahkan para khadam mengambil sobekan kertas di jalanan yang masih layak dipergunakan. Sehingga ketika ada tamu yang meminta bacaan amalan untuk wiridan, serta meminta bacaan do’a, untuk keperluan hajat hidupnya, Nun Kalim tidak segan menulis apa yang diinginkan para tamu di atas kertas yang ia pungut di jalanan.
Mencintai Silaturrahim, dan Konsisten Terhadap Janji
Perilaku silaturrahim, hampir melekat dalam kehidupan keseharian Nun Kalim. Ulama yang memiliki kemampuan menulis dalam sejumlah bahasa seperti Cina, Jepang dan Arab tersebut selalu menyempatkan dalam kehidupan kesehariannya bersilaturrahim ke rumah para tamu yang selalu datang kepadanya. Dalam bersilaturrahim, Nun Kalim tidak pernah membedakan status sosial tuan rumah yang hendak dituju.
Bahkan sebagian besar tuan rumah yang dituju Nun Kalim adalah orang miskin yang tempat tinggalnya jauh dari kata “layak”. Meski terkadang hanya disuguhi air putih dan kerupuk, hal tersebut tidak serta merta membuat Nun Kalim memilih tuan rumah yang kaya. Tak jarang, Nun Kalim kemudian mendoakan tuan rumah agar dikemudian hari diberi kelapangan rejeki.
Kesukaan bersilaturrahim Nun Kalim terus dilakukan meski kondisi fisiknya mengalami penurunan signifikan karena serangan penyakit kencing manis yang bersarang dikedua kakinya. Arianto menyebutkan, setengah bulan sebelum kewafatan Nun Kalim pada tahun 2001, dengan kondisi fisik yang cukup memprihatinkan, Nun Kalim masih menyempatkan melakukan silaturrahim di dua tempat di kabupaten Probolinggo.
Tujuan silaturrahim pertama ia lakukan di rumah salah seorang warga di desa Sumberkerang, Kecamatan Gending. Dirumah sang tamu, Nun Kalim diakui Arianto hanya diam dan tersenyum dengan hanya menyandarkan tubuhnya ke kursi milik tuan rumah. Meski tanpa banyak memberikan isyaroh kepada para khadam, Arianto mengaku bahwa Nun Kalim mencoba menahan rasa sakitnya tanpa pernah mengeluh.
Setelah selesai bersilaturrahim ke Desa Sumberkerang, Nun Kalim pun langsung menuju Desa Brabe Kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo, dan para khadam harus membopong tubuh Nun Kalim agar bisa masuk ke dalam rumah.
Proses silaturrahim yang dilakukan Nun Kalim, biasa Beliau lakukan ketika ada tamu yang sering bertandang ke dalemnya. Menghargai sikap si tamu yang selalu bersilaturrahim, Nun Kalim akhirnya memberi tahu kepada tamunya bahwa ia pada hari tertentu akan bertandang sekedar bersilaturrahim.
Konsistensi dalam menepati janji ketika hendak bersilaturrahim terhadap orang lain, tak pernah Nun Kalim ingkari. Ketika Nun Kalim terserang penyakit kencing manis, tidak sedikit orang terdekatnya meminta Nun Kalim menunda kunjungan silaturrahim kepada orang yang hendak di tuju karena alasan kondisi kesehatan yang kurang memungkinkan. Namun dengan bahasa isyarat yang ia salurkan melalui para khadamnya, Nun Kalim memberi jawaban singkat dengan kata “ Engkok ajenjih ka oreng, engkok berarti endik otang ke pengiran” (saya berjanji kepada orang, berarti saya punya hutang kepada Allah).
Sering Meminta Tamu Menunaikan Haji
Selain kecintaannya dalam bersilaturrahim, Nun Kalim acapkali menyuruh seseorang untuk pergi menunaikan haji. Bahkan tidak sedikit, orang Beliau suruh adalah orang kurang mampu secara ekonomi. Meski demikian, hampir semua orang yang Beliau perintahkan menunaikan haji meski terbilang “tidak mampu”, tidak lama berselang dari ucapannya, mampu menunaikan ibadah haji.
Sebaliknya, orang kaya yang Beliau perintahkan menunaikan ibadah haji, namun akhirnya mbalelo dengan menggunakan hartanya untuk kepentingan yang lain, pada akhirnya kehidupan ekonominya merosot tajam.
Hasan, warga pulau Gili Ketapang yang kemudian berganti nama H Abdullah pasca menunaikan ibadah haji adalah saksi betapa sesuatu yang mustahil baginya, pada akhirnya menjadi kenyataan setelah Nun Kalim memintanya menunaikan ibadah haji.
Diakui H Abdullah, ia biasa sowan ke Nun Kalim setiap kali pergi ke pesantren Genggong. Selain sowan, ia membiasakan diri berziarah ke makam Masayekh Genggong sebagai bentuk kecintaannya terhadap para ulama. Sekitar tahun 1985 ia sowan ke Nun Kalim. Setelah diterima Nun Kalim, ia kemudian diminta untuk menunaikan ibadah haji.
H Abdullah yang mendapat perintah untuk menunaikan ibadah haji hanya berucap kata “amin” beberapa kali. Sepulang sowan dari rumah Nun Kalim, terbesit pertanyaan besar dalam hatinya tentang darimana dana ia peroleh untuk menunaikan haji.
Perlu diketahui, pada tahun tersebut, H Abdullah hanya memiliki satu perahu yang dipekerjakan pada orang lain dengan sistem bagi hasil. Sementara dirinya hanya menjadi guru ngaji di langgar peninggalan ayahandanya.
Sebelum mendapatkan perintah haji Nun Kalim, H Abdullah menuturkan hasil dari pembagian uang dari perahu yang ia miliki hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Namun setelah mendapatkan perintah haji, perolehan uang bagi hasil meningkat tajam. Hal tersebut tentu dikarenakan peningkatan hasil tangkapan ikan yang terus melimpah.
Setelah beberapa bulan menabung, jumlah uang untuk berangkat hajipun tercukupi. Dan berangkatlah ia ke tanah suci Mekkah pada tahun 1985 sebagaimana yang diminta Nun Kalim. Cerita seperti yang dialami H Abdullah, diakui Arianto, banyak dialami sejumlah tamu yang bertandang di kediaman Nun Kalim.
Meski banyak tamu yang berhasil berangkat ke tanah suci Mekkah, tidak sedikit tamu yang diminta Nun Kalim untuk menunaikan ibadah haji, akhirnya mengalami kemerosotan ekonomi. Kebanyakan dari tamu yang mengalami masalah kemerosotan ekonomi disebabkan mengabaikan permintaan Nun Kalim yang telah disanggupinya sebelumnya.
Perhatian Terhadap Sesama Makhluk
Pada tahun 1985, Nun Kalim kembali berangkat ke tanah suci Mekkah. Meski fisiknya berada di Mekkah, bukan menjadi alasan Nun Kalim tidak memperhatikan kehidupan para khadam dan sejumlah hewan peliharaannya seperti burung dari aneka jenis, landak dan hewan-hewan lainnya.
Arianto mengaku, ketika Nun Kalim berada di tanah suci, surat untuk membelikan makanan hewan peliharaan dilakukan secara rinci. Pun demikian untuk keperluan sandang dan pangan para khadam yang mengabdi kepadanya. Bahkan tak jarang Nun Kalim membuat catatan detail berupa jam makan yang harus dilakukan para khadam, sehingga mereka tidak telat makan.
Perhatian terhadap para khadam, diakui Arianto tak hanya ketika Nun Kalim pergi ke tanah suci. Ketika ia hendak melakukan silaturrahim ke luar kota seperti Situbondo, Nun Kalim selalu berpesan terhadap para khadam yang kebetulan tidak ikut rombongan untuk makan tepat waktu.
Sikap perhatian dan menjaga kehidupan sesama inilah, membuat para khadam merasa diperhatikan. Tak jarang, para khadam yang mengabdi terhadap Nun Kalim Merasa kerasan, hingga bakti mereka mencapai puluhan tahun.
Selain memperhatikan kondisi sandang pangan para khadam, Nun Kalim tak lupa selalu memberikan nasehat dengan memberikan cerita para utusan Allah mulai dari Nabi Adam, hingga Nabi Muhammad. Rutinitas tersebut, biasa dilakukan Nun Kalim pada malam Jumat.
Perhatian terhadap para khadam diakui Arianto semakin tinggi ketika bulan puasa tiba. Setiap menjelang buka puasa, Nun Kalim selalu mendahulukan makanan para khadam. Dalam hal ini, Beliau mendahulukan para khadam untuk makan terlebih dahulu. Sementara dirinya hanya membatalkan puasa dengan meminum air putih. Nah, setelah para khadam menyelesaikan makanan yang ada, baru Nun Kalim memulai makan miliknya sendiri.
Ditulis oleh: Mustain Abdullah, S.Kom.I. (Pemred Majalah Genggong)