Ahmad Tuhfah Nahrawi - Pesantren Zainul Hasan
Ahmad Tuhfah Nahrawi

Seorang ulama’ yang masih belia pada era 50-an terkenal akan kemahirannya dibidang Asrtronomi, beliau juga meru-pakan salah satu santri kesayangan dari KH. Hasyim Asy’ari tebuireng Jombang. Di lingkungan keluarga besarnya di pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau dikenal dengan panggilan “Non Tuhfah”. Nama lengkapnya adalah Ahmad Tuhfah Nahrawi, beliau dilahirkan pada tahun 1351 H/1926 M, putra ke enam dari sebelas bersaudara pasangan Kiai Ahmad Nahrawi dan Nyai Marfu’ah. Non Tuhfah merupakan cucu kesayangan Almarhum Al-Arif Bilah KH. Mohammad Hasan Genggong, hal tersebut dapat terlihat dari perhatian dan kasih sayang sang kakek kepadanya.
nun tukhfa
Ke’aliman Non Tuhfah sudah telihat sejak beliau berusia belasan tahun. Di usianya yang masih belia, beliau telah menulis sejumlah kitab, diantara kitab-kitab beliau yang terkenal adalah; kitab Tuhfatul Atfal tentang ilmu tajwid Al-Qur’an yang beliau tulis saat berusia 18 tahun, meng-injak usia 20 tahun beliau kembali menulis kitab Mirqotul Ulum Tuhfatul Tsaniyah ringkasan dari kitab Alfiah Ibnu Malik dan Tuhfatul Karim yang membahas Qiro’atus Sab’ah. Kitab-kitab tersebut beliau susun antara tahun 1948 M hingga tahun 1951 M. Sangat menarik sosok dari Non Tuh-fah, di usia muda beliau telah mengarang beberapa kitab padahal semasa hidupnya Non Tuhfah hanya sekali saja nyantri pada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, hanya dengan kurun waktu satu minggu. Hal ikhwal dari proses Non Tuhfah menjadi santri Kiai Hasyim Asy’aripun terbilang unik, karena sang Kiai lah yang meminta beliau untuk menjadi santrinya. Hal ini berbeda dari kebanyakan pemuda pada masa itu yang meminta sang Kiai untuk menjadi gurunya.

Selain ke’aliman beliau dibidang ilmu agama, Non Tuhfah juga terkenal mahir ilmu perbintangan dan antariksa. Menurut sebuah pendapat, saat berkumpul dengan beberapa santri di pesantren Zainul Hasan Genggong, beberapa santri dibuat tercen-gang oleh kemahiran ilmu astronomi Non Tuhfah. Beliau menunjukkan kemahirannya dengan menyebutkan jumlah lidi yang ter-dapat pada dua sisi pelepah daun kelapa yang baru jatuh dari pohonnya tanpa men-gitungnya terlebih dahulu. Dengan hitungan ilmu perbintangan, sedikitpun hitungan beliau tidak meleset dari aslinya.

Disisi lain, sosok Kiai Ahmad Tuhfah Nahrawi sangat lekat dengan kezuhudan-nya (lebih mengutamakan urusan akhirat daripada dunia). Keistiqomahan beliau dalam beribadah semasa hidupnya, tak dapat ditandingi para pemuda lainnya. Beliau terkenal akan keistiqomahannya membaca surah Yasin sebanyak 40 kali setelah usai melaksanakan shalat maghrib hingga waktu shalat Isya’ tiba. Selain ketawaddhu’an dan keikhlasannya, Non Tuhfah juga terkenal sangat tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya. Bahkan, saat mendapatkan kesulitan ketika men-garang kitab, beliau langsung merangkak dibawah selangkangan kedua kaki ibunya untuk meminta restu agar diberikan kemu-dahan dalam mengarang kitab.

Sang Penggagas Kemandirian

Kiai Ahmad Tuhfah Nahrawi belum pernah menikah semasa hidupnya, selain itu beliau terkenal disiplin dalam mengajar. Kedisiplinannya dalam belajar dan mengajar menjadi contoh bagi para guru pada masa itu. Dikalangan para santrinya beliau terkena sangat disiplin, gaya mengajar beliau yang khas adalah dengan selalu memberikan ujian secara lisan kepada para santri yang diajarnya. Ujian yang beliau berikan kepada para santri tidak tentu hari dan tanggalnya. Materinya pun selalu berubah-ubah hingga megharuskan para santri untuk selalu mengingat pelajarannya, baik pelajaran yang baru diberikannya maupun pelajaran yang telah lama diajarkan. Gagasan yang pernah dibuat beliau dibidang pendidikan pesantren Zainul Hasan Genggong, adalah dengan mengupayakan penggunaan kitab-kitab asli karangan beliau sendiri dan beberapa kitab dari pengasuh pondok Genggong lainnya. Beliau mengupayakan kemandirian pada sektor pendidikan dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di pesantren. Gagasan beliaupun berjalan dengan baik, hingga beliau akhirnya wafat pada tanggal 14 Rabi’us Tsani 1371 H/31 Desember 1951 M.

Saat beliau wafat inilah begitu nampak betapa besar kasih sayang sang kakek Almarhum KH. Mohammad Hasan kepadanya. Diantara putra dan cucu Almarhum KH. Mohammad Hasan, hanya saat beliau wafat saja kakek beliau menangis melepas kepergiannya menuju sang Khaliq. Beberapa waktu sebelum beliau wafat, Non Tuhfah sempat becerita kepada kakekya (Almarhum KH. Mohammad Hasan). Beliau menceritakan tentang mimpinya, bahwa matahari, bulan dan seluruh bintang di langit turun ke bumi dan bersujud padanya. Seketika kakek beliau menangis sambil memeluk beliau. Beberapa hari setelah menceritakan mimpinya kepada kakeknya, beliau kemudian jatuh sakit dan wafat pada usia 20 tahun.