ISLAM memiliki dimensi zamkaniyah (zaman wa makan) yang jauh dari keberadaan kita. Dari dimensi zaman (waktu), Islam sebagai sebuah ajaran agama muncul dan berkembang lebih dari 14 abad yang lalu. Dari dimensi makan (tempat), Islam turun di tempat yang sangat jauh dari posisi kita di Indonesia. Intinya, Islam memiliki dimensi tempat dan waktu yang jauh dari kita di Indonesia saat ini.
Pertanyaan yang penting diajukan al faqir, bagaimana ceritanya Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini? Bagaimana kisahnya hingga Islam bisa menjadi napas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia ini? Tentu jawabannya harus dicari dan jawaban itu mudah didapat dengan mengajukan pertanyaan tambahan: lantas siapa yang membawa Islam ke negeri ini? Siapa yang menyebarkan Islam di negeri yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia ini?
Tidak mungkin Islam datang dengan sendirinya atau tiba-tiba dipeluk mayoritas bangsa ini. Padahal, bangsa Indonesia sendiri memiliki latar belakang etnis beserta kultur yang berbeda-beda. Tentu semua itu karena jasa-jasa para ulama. Para walilah yang menyebarkan Islam di negeri ini. Para ulamalah yang berkontribusi besar pada dakwah Islam di negeri ini hingga Islam menjadi agama yang dipeluk mayoritas bangsa ini. Bayangkan jika tidak ada ulama. Bayangkan jika tidak ada wali. Bayangkan jika tidak ada mereka semua. Tentu mustahil kita bisa menikmati Islam seperti saat ini.
Karena itu, zalim rasanya jika kita menghilangkan jasa ulama. Karena itu pula, sesungguhnya tidak berbudi orang atau kelompok yang menghilangkan jasa ulama. Kita bisa menikmati kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sejuk dan penuh kedamaian juga bukan perkara mudah.
Lihatlah bangsa-bangsa lain di dunia ini. Mereka punya masalah besar dengan bangunan kebangsaannya. Mereka juga kerap dilanda masalah besar dengan bangunan sosiologis masyarakatnya. Ada kelom pok sosial di internal mereka yang tidak terakomodasi dalam sistem sosial politik kebangsaan dan kenegaraan mereka sendiri. Hidup mereka pun tak bahagia karena selalu menjadi objek intoleransi dan dominasi kelompok lain yang jumlahnya lebih besar.
Lalu kita bangsa Indonesia ini bagaimana? Kita bisa menikmati hidup di negeri ini dengan sangat baik penuh bahagia. Indonesia damai. Indonesia sejuk. Indonesia menjadi rumah bagi semua kelompok sosial di negeri ini. Kita bisa menikmati itu semua hingga kini dengan baik.
Maka, sangat tidak terpuji jika ada orang atau kelompok yang menghilangkan jasa ulama. Sangat lacur jika ada orang atau kelom pok yang membutakan mata atas jasa-jasa ulama. Mereka tidak mengerti atau buta atas sejarah Indonesia secara umum dan sejarah Islam Indonesia secara khusus.
Apalagi, ekspresi Islam di negeri ini luar biasa cerdas. Islam bisa berdialog dengan nasionalisme. Islam bisa rukun bersama budaya masyarakat yang beragam di negeri ini. Islam juga tampil penuh kontribusi bagi bangsa ini, termasuk di bidang ekonomi dan politik.
Untuk itu, kita patut mengapresiasi siapa pun yang menjunjung tinggi jasa-jasa ulama. Kita sangat menghargai siapa pun yang ingin mengangkat harkat dan martabat para kiai dan para ulama negeri ini. Kita menaruh hormat kepada siapa pun di negeri ini yang menempatkan para kiai dan ulama di tempat yang luhur.
Maka, jangan sekali-kali mengabaikan jasa ulama. Dan jangan sekali-kali menghilangkan kontribusi mereka untuk negeri ini. Di sinilah patut dihargai jargon Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa
Ulama). Pada titik ini saya kemudian teringat nasihat dan ungkapan Presiden Soekarno yang disampaikan saat berpidato di depan sidang MPRS pada 17 Agustus 1966 yang menyebut Jas Merah (Jangan Sekalikali Melupakan Sejarah dan Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).
Bung Karno pun sangat mengerti bahwa berdirinya NKRI ini tidak dapat dipisahkan dari perjuangan para ulama, misalnya terbentuknya Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah yang berisi barisan kiai dan santri atas restu dan titah KH Hasyim Asy’ari. Peran ulama juga sangat menentukan ketika menunjuk Soekarno-Hatta sebagai waliyyul amri ad-dlaruri bisy-syaukah pada saat ada yang mempertanyakan keabsahan kepemimpinan mereka berdua. Serta keluarnya resolusi jihad dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang membangkitkan semangat bertempur kepada Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Begitu juga halnya ketika bangsa ini sedang berdebat dalam merumuskan dasar negara. Spirit agama menjadi acuan utama yang terumuskan pada sila pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang mencerminkan pandangan ketauhidan dalam Islam sebagaimana yang ditegaskan KH Abdul Wachid Hasyim yang me ru pakan salah seorang anggota tim sembilan perumus dasar negara.
Terlebih, dalam konstitusi kita dijelaskan, kemerdekaan yang di peroleh bangsa Indonesia ini adalah berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa. Sehingga semakin jelas, para ulama juga berperan besar dalam membangun fondasi dan meletakkan dasar negara dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dengan melihat secara komprehensif perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini, ungkapan Jas Hijau dan Jas Merah memiliki kesatuan makna yang merujuk pada substansi jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama. Sebab, ulamalah yang membuat dan mengukir sejarah terbentuknya bangsa Indonesia ini. Maka, jika ada yang mencoba merusak dan menghancurkan bangsa ini, niscaya ulama akan berada dalam barisan terdepan untuk menghadang dan menghentikannya. Sebab, ulama adalah pilar utama penyangga Indonesia. Maka, jangan sekali-kali melupakan jasa ulama, juga janganlah sekali-kali menghilangkan jasa ulama, karena tanpa ulama tidak akan ada sejarah bangsa Indonesia ini. (*)
Oleh: KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, S.H., M.M
Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur/Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong
Sumber: Jawa Pos Edisi 17 Oktober 2017