Oleh: KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah SH MM
Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong
Dari masa ke masa, dunia pesantren selalu berhasil menempatkan diri sesuai kebutuhan kaum muslim. Pada prinsipnya, dunia pesantren selalu berupaya keras untuk tetap mempertahankan jati dirinya. Baik dalam hal yang menyangkut sikap keagamaan, sikap kemasyarakatan, serta sikap kepesantrenan yang merupakan jati diri pesantren.
Di sisi lain, kita (pesantren) harus menyadari benar bahwa pesantren berada di situasi yang sangat dinamis, yang sangat cepat perubahannya. Kita kerap menyebutnya dengan globalisasi.
Menghadapi era globalisasi, maka kita harus bekerja keras mencari strategi baru, inovasi baru untuk membiasakan anak-anak didik kita mengenal dan mengetahui hari-hari besar pesantren. Termasuk hari raya Idul Adha yang nuansanya masih kita rasakan saat ini.
Alhamdulillah, kita mendapat rahmat untuk kembali merasakan hari raya Idul Adha 1437 hijriah. Di Pondok Pesantren kami, Zainul Hasan Genggong, ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan demi mensyiarkan Idul Adha. Tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah untuk membiasakan para santri itu melakukan tradisi-tradisi yang sudah menjadi kultur masyarakat pesantren.
Hal ini adalah wujud implementasi dari amaliyah Islam ahlissunnah ‘alaa Wali Songo ‘alaa thariqati Nahdlatil Ulama. Di antaranya dengan mengajarkan para santri untuk belajar mencintai riyadloh bertakbir. Kemudian bagaimana agar mereka memahami bahwa banyak sekali hikmah yang terkandung pada momentum Idul Adha.
Idul Adha mengajarkan anak-anak kita untuk mempunyai karakter jujur. Idul Adha juga mengajarkan karakter mau berkorban untuk orang lain, bahu-membahu, gotong royong, saling menolong. Sikap-sikap tersebut juga merupakan ciri masyarakat Indonesia yang Pancasilais dan religious, serta juga mengandung semangat nasionalisme.
Idul Adha juga memiliki kaitan erat dengan keikhlasan berkorban seperti yang ditunjukkan oleh Nabiyullah Ibrahim alaihissalam. Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk mengorbankan putranya sendiri, Nabiyullah Ismail alaihissalam. Peristiwa tersebut yang kemudian menjadi momentum Idul Adha atau Idul Qurban.
momen Idul Adha harus dipahami dengan utuh maksud, tujuan, serta makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, bahwa Nabi Ibrahim alaihissalam rela mengorbankan putranya yang bernama Nabiyullah Ismail alaihissalam karena semata-mata iman kepada Allah SWT.
Kedua, adalah sebagai pembelajaran serta hikmah kepada umat manusia, khususnya kaum muslim, agar memiliki jiwa dan keikhlasan untuk berkorban. Berkorban dalam artian mau memberi manfaat untuk orang lain dalam wujud apapun sesuai garis dan ajaran agama. Sehingga menjadi orang yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain.
Orang yang telah memiliki keikhlasan untuk berkorban dalam jiwanya, maka dia berhak disebut pejuang. Orang yang mau bersikap ta’awun, mau melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain tanpa pamrih, maka dia berhak disebut pejuang. Islam lebih membutuhkan kaum muslim berlabel pejuang, daripada muslim yang kadang-kadang mengganggu sesama muslim.
Maka percayalah, Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan seorang pejuang.
Makna terpendam lain dari peristiwa Nabi Ibrahim alaihissalam, yakni membiasakan diri membaca takbir. Terbiasa membaca takbir sama artinya membiasakan diri kita untuk menunjukkan rasa cinta kita kepada Allah SWT. Dengan mengumandangkan takbir, maka akan tertanam dalam jiwa kita bahwa tiada yang lebih akbar, tiada yang lebih agung daripada kepentingan Allah SWT.
Wallahu ‘a’lam bisshowab. (*)