SURABAYA– Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Timur menggelar Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) ke-III di Grand Residen Darmo Harapan Surabaya, Jawa Timur, pada 24-25 September 2017. Penguatan ekonomi umat jadi pokok utama materi yang dibahas dalam forum ini.
Muskerwil dilaksanakan sebagai evaluasi sekaligus upaya mempercepat program-program kerja NU Jawa Timur, terutama yang masih dililiti banyak kendala sehingga tidak berjalan maksimal bahkan mandek.
Ketua PW NU Jatim KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah mengatakan, PW NU Jatim memiliki perhatian serius terhadap isu dan aksi penguatan ekonomi. “inilah program strategis yang mendesak untuk dikuatkan. Kenapa? Karena jujur saja umat kita tidak semata hidup di atas ideologi atau akidah ahlussunnah waljamaah Nahdlatul Ulama” Ungkap Kiai Mutawakkil.
Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, itu lantas berkisah tentang peristiwa hilangnya logo NU di mobil milik mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, almarhum KH Hasyim Muzadi. “Waktu itu hadratus syaikh KH Hazim Muzadi masih Ketua PW NU Jatim, kata kiai Mutawakkil memulai cerita.
Suatu waktu, lanjut dia, kiai Hasyim Muzadi mau ke kantor NU Jatim di Jalan Raya Darmo Surabaya (kantor NU Jatim lama) dari Malang. “Lewat Pasar Turi. Sampai di kantor NU, logonya (NU) di mobil hilang. Saya tanya sopirnya, saya ingat namanya Hanip, saya sampaikan, ‘Nip, logonya kiai hilang.'”ujar kiai Mutawakkil.
Setelah diingat, diketahui logo NU itu hilang saat melintas di kawasan Pasar Turi Surabaya. “Sopirnya kiai lalu telepon orang-orangnya jaringannya (yang menguasai kawasan Pasar Turi) lanjut kiai Mutawakkil.
tidak sampai satu jam, datanglah seorang pria ke kantor NU membawa logo NU yang hilang dari mobil Kiai Hasyim Muzadi. Pria itu lantas menemui Kiai Hasyim Muzadi, mengantarkan logo NU sembari meminta maaf. “Mohon maaf kiai, saya tidak tahu kalau mobilnya jenengan,” kata Kiai Mutawakkil menirukan kalimat maaf pria tersebut.
“Kiai Hasyim bilang, ‘Kalau misalnya bukan milik saya, tetap kamu copet? Si pria menjawab, ‘Ya, saya ambil, kiai, tidak saya kembalikan” tutur kiai Mutawakkil.
Dengan kisah nyata itu, kiai Mutawakkil menggambarkan bagaimana besarnya jumlah umat Islam di Indonesia tetapi kecil secara kualitas, termasuk kekuatan di bidang ekonomi. Kualitas rendah itu memengaruhi prilaku ekonomi masyarakat yang menyimpang. “Masih banyak yang Islam KTP.” ujarnya.
“Ibarat kereta api, ada gerbong barang, ada gerbong ekonomi dan ada gerbong eksekutif. Gerbong barang ini mayoritas Islam KTP, dikatakan kafir marah, disuruh salat juga marah. Gerbong ekonomi lumayan, salatnya jalan, tapi maksiatnya juga jalan. Ke majelis sholawat rajin, tapi ke majelis maksiat juga rajin”. tandas kiai Mutawakkil.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal NU, Helmy Faishal, mengatakan bahwa penguatan ekonomi masyarakat adalah satu di antara program utama yang diamanatkan Muktamar ke-33 NU di Jombang pada Agustus 2015 silam. “Data dari LSI, warga NU sekitar 91 juta jiwa. Ini besar dalam arti jumlah, tapi kecil dalam arti peran”. ucapnya. (nujatim)