Kiai Mutawakkil: Kiai Sepuh Itu Mengaji dan Tirakat

Tidak ada komentar Share:
KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah, SH., MM.

Ungkap Peran KH Mohammad Hasan di NU

SITUBONDO – Pada bulan Syawal 1438 Hijriah, haul Almarhum Al-Arif Billah KH Mohammad Hasan Genggong digelar secara bergiliran dari satu tempat ke tempat lain. Haul pertama digelar di Pondok Pesantren (Ponpes) Zainul Hasan Genggong di Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo pada 11 Syawal, bertepatan pada 5 Juli 2017.

Haul berikutnya dilaksanakan oleh Ikatan Alumni dan Santri Pesantren Zainul Hasan (Tanaszaha) Cabang Kabupaten Lumajang pada 8 Juli. Disusul Tanaszaha Cabang Kota Probolinggo pada 9 Juli. Dan, Tanaszaha Cabang Kabupaten Situbondo menggelar haul tersebut pada Senin malam, 10 Juli 2017.

Ada sejumlah ulama yang hadir pada acara haul yang bertempat di Madrasah Al-Hikmah Curah Jeru Situbondo itu. Di antaranya pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Zainul Hasan Genggong KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah, pengasuh Ponpes Wali Songo KHR Mohammad Holil As’ad Syamsul Arifin, dan Non Hassan Ahsan Malik.

Hadir pula Ketua Dewan Pengurus Pusat Tanaszaha Dr Abdul Aziz Wahab M.Ag, Ketua Tanaszaha Cabang Situbondo H. Ahmad Muzammil, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Situbondo H Atho’illah.

Dalam ceramahnya, Kiai Mutawakkil mengungkapkan bahwa KH Mohammad Hasan ikut andil dalam terbentuknya Nahdlatul Ulama. Hal ini juga diterangkan dalam sejarah pendirian NU.

Dalam musyawarah terakhir terkait rencana pendirian NU, selain KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Samsuri, KH Mohammad Hasan juga hadir pada musyawarah tersebut.

“Kiai Sepuh (KH Mohammad Hasan, red) juga menyampaikan pendapat-pendapat penting pada musyawarah tersebut,” ungkap Kiai Mutawakkil.

Kiai Mutawakkil lantas menceritakan, suatu ketika Kiai Hasan Sepuh menyampaikan sesuatu kepada KH Hasan Saifouridzall, putranya, dalam bahasa Madura.

“Nak, sampaikanlah kepada anak-cucu, kalau untuk NU, jangankan harta, tenaga, dan waktu. Nyawamu, sedekahkan kepada NU. NU adalah jam’iyyatan mardiyyah. NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang diridloi oleh Allah SWT,” kata Kiai Mutawakkil mengungkapkan penuturan Kiai Hasan Sepuh.

Hadratus Syekh KH Abdul Hamid Pasuruan adalah salah satu ulama yang berguru kepada Kiai Hasan Sepuh. Kiai Mutawakkil mengungkapkan, Kiai Hamid rutin ke Genggong ketika usia Kiai Hasan Sepuh sekitar 110 tahun.
“Setiap malam Rabu, Kiai Hamid ke Genggong untuk berguru kepada Kiai Sepuh. Hanya berdua. Kiai Sepuh dawuh dengan nada dan suara pelan, Kiai Hamid hanya bilang ‘inggih inggih inggih’”, ungkap Kiai Mutawakkil.

Kiai Hamid juga sangat menghormati Kiai Hasan Sepuh. Setiap kali melewati Kecamatan Pajarakan, Kiai Hamid selalu turun dari kursi kendaraan yang dinaiki. Kepada keluarganya, Kiai Hamid mengatakan hal itu sebagai wujud penghormatannya kepada Kiai Hasan Sepuh. “Beliau mengatakan kepada keluarganya, bahwa di selatannya Pajarakan ada Kiai Sepuh. Ini adab santri. Betapa tawaduknya Kiai Hamid,” tutur Kiai Mutawakkil.

Kiai Mutawakkil mengatakan, haul dilaksanakan sebagai wujud upaya umat untuk mengingat peran para ulama terdahulu. “Agar bisa menirukan hal-hal baik yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu,” terang Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini.

Kiai Hasan Sepuh pada masa mudanya, berguru kepada KH Zainul Abidin Genggong –yang kemudian menjadi mertuanya–, lalu berguru kepada KH Mohammad Tamim Pasuruan, dan kepada KH Mohammad Holil Bangkalan.

Setelah sekitar 3 tahun berguru kepada Kiai Holil Bangkalan, suatu ketika Kiai Holil memanggil Kiai Hasan Sepuh. Sang guru lantas memukul Kiai Hasan Sepuh. “Jadi, Kiai Holil menyuruh Kiai Sepuh untuk pulang. Kiai Holil menyampaikan bahwa Kiai Sepuh sudah ditunggu para santri,” ungkap Kiai Mutawakkil.

Oleh karenanya, Kiai Mutawakkil mengajak para hadirin untuk meneladani apa yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu. Khususnya Kiai Hasan Sepuh. “Kenapa Kiai Sepuh itu cerdas, karena beliau belajar. Kalau ingin cerdas harus belajar. Kiai Sepuh itu mengaji dan tirakat,” terang Kiai Mutawakkil.

Kiai Mutawakkil juga mengajak para hadirin untuk mencintai para Waliyullah. Menurut Beliau, mencintai Waliyullah adalah sebagai upaya untuk menunjukkan rasa cinta kepada Allah. “Jika cinta kepada Allah, maka sudah tentu cinta kepada para Waliyullah,” tutur Beliau. (eem)

5/5 - (6 votes)
Previous Article

Ini Patut Diperhatikan Suami Pelit

Next Article

Kiai Mutawakkil: Begini Cara Jadi Orang Tua Beruntung

Artikel Lainnya

Tinggalkan Balasan