Pesantren Ra’iyatul Husnan; Kental dengan Aroma Genggong

Tidak ada komentar Share:
KH. Husnan

Ketika memasuki kawasan Bondowoso dari arah utara kita akan melewati jalan menanjak yang berliuk-liuk, itulah gunung arak-arak yang merupakan batas teretorial antara kabupaten Bondowoso dan Situbondo, melangkah lebih jauh kearah selatan kurang lebih 5 kilometer kita akan menjumpai desa Wringin yang merupakan tanah kelahiran seorang Ulama yang menjadi icont ”Barokah” mengingat kedudukan yang disandangkan oleh Allah kepadanya disinyalir buah (barokah) dari khidmah (pengabdian) beliau kepada sang guru sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, beliau adalah KH. Husnan Bin Muhsin Pengasuh Pondok Pesantren Roi’yatul Husnan.

Ahmad Ro’i atau lebih dikenal dengan sebutan Bindhereh Madra’i (bahasa madura) nama kecil Kyai Husnan lahir dari keluarga yang secara finansial serba kekurangan namun demikian beliau adalah pemuda yang sabar dan tegar menerima keadaan. Sebagai putra dari seorang Pengasuh Musholla Ahmad Ro’i merasa perlu membekali dirinya dengan Ilmu agama hal itu terlihat ketika Ahmad Ro’i mulai beranjak dewasa beliau memohon restu kepada ayahandanya untuk mengabdikan hidupnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong guna memperdalam ilmu agama, setelah mendapatkan restu dengan kemantapan hati dan niat yang luhur Ahmad Ro’i berangkat menuju ke Genggong dengan berjalan kaki dalam jarak tempuh sekitar 60 Kilometer dan membawa perbekalan seadanya, beliau menjalani kesehariannya dengan kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi beliau tidak pernah menyerah pada keadaan, sepertinya beliau sudah sangat terlatih hidup serba kekurangan, dengan semangat yang berkobar beliau tetap komitmen dan konsisten pada apa yang menjadi niatnya semula yaitu mencari ilmu Allah. Sisi lain dari perjalanan Ahmad Ro’i dalam tholabul ‘ilmi sebagian besar waktunya beliau isi dengan ber-khidmah kepada sang guru, dengan dedikasi yang tinggi Ahmad Ro’i begitu telaten melayani setiap hajat gurunya hingga pada urusan dapur.

Al Kisah, Sewaktu Kyai Moh Hasan Genggong menceritakan kepada para santri bahwa cincin Ibu Nyai jatuh ke dalam kubangan WC, tanpa di perintah siapapun Ahmad Ro’i menyelinap ke arah kubangan WC dimaksud, Khaddam itu langsung turun kedalam kubangan sembari mencari cincin dengan tangan telanjang, dalam waktu yang cukup lama akhirnya Ahmad Ro’i menemukan cincin Ibu Nyai dan menyerahkannya kembali kepada Kiyai Moh Hasan setelah cincin itu dibersihkan. Masih banyak kisah-kisah lain mengenai ihwal positif Ahmad Ro’i selama mengabdi di Genggong yang tidak mungkin kami tuliskan dalam profil singkat ini. itulah Ahmad Ro’i sepertinya beliau memang dilahirkan sebagai ibroh dan uswah hasanah (pelajaran positif dan suri tauladan) bagi setiap santri pada generasi berikutnya.

Setelah selesai nyantri di Genggong beliau kembali tinggal di Wringin membantu ayahandanya menebarkan ilmu di jalan Allah. Surau sederhana di depan kediamannya menjadi tempat beliau bersama ayahandanya mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Hingga kemudian setelah ayahandanya wafat, beliaulah yang meneruskan perjuangan ayahandanya. Lambat laun para santri mulai banyak berdatangan dari segala penjuru guna nyantri kepada Kiyai Husnan hingga dirasa perlu beliau kemudian membangun asrama bagi para santri. Mulailah Kyai Husnan di kenal oleh masyarakat sebagai pengasuh Pondok Pesantren (pada saat itu orang menyebutnya “Pesantren Kiyai Husnan”), Dengan metode salaf beliau mengembangkan pendidikan di Pesantren yang di asuhnya, seperti membaca Al-Qur’an bersama para santri setiap kali selesai Sholat Subuh, mengajar kitab kuning setiap selesai Sholat Maghrib, di samping itu beliau sangat menekankan Sholat berjemaah kepada para santri hingga apabila terdapat santri yang meninggalkan sholat berjamaah tanpa alasan yang jelas beliau tidak segan-segan men-ta’zir-nya. Begitulah Kiyai Husnan, dengan istiqomah dan tidak kenal lelah beliau ngemongi santri-santrinya, beliau menyadari bahwa pengasuh itu hakikatnya adalah pelayan bagi santri-santrinya sebagaimana peminpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya.

Pada periode selanjutnya setelah Kiyai Husnan wafat (Tahun 1985) kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh putra-putri Kiyai Husnan secara kolektif, di antaranya :

Pengasuh I. KH Husnan Mutawakkil Ridlwan.
Pengasuh II. Ny Hj A’isyah (istri dari KH Ahmad Asy’ari)
Pengasuh III. KH Adullah Hafidz. (Alm)
Pengasuh IV. KH Saiful Haq. (Alm)
Pengasuh V. KH Mukhlishul A’mal.
Pengasuh VI. KH Manshur ‘Ainul Yaqin.
Pengasuh VII. Ny Hj Sofiyah (istri dari KH Ubaidillah N.Ch)
Pengasuh VII. KH Muhammad Mahfudh.

Karena dipandang perlu pertama kali putra-putri Kiyai Husnan berinisiatif untuk memberikan nama pada Pesantren peninggalan Kiyai Husnan dengan nama “Roi’yatul Husnan” diambil dari nama kecil Kiyai Husnan yaitu “Ro’i” dan nama putra pertamanya yaitu “Husnan”. Menyadari bahwa zaman menuntut santri tidak hanya paham ilmu agama saja melainkan juga harus menguasai ilmu umum, di bentuklah pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tetap lebih menekankan pada pendidikan agama, pada awalnya Madrasah Ibtidaiyah ini merupakan Madrasah cabang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan nama MI “Kholafiyah Syafi’iyah” adalah pemberian dari Kiyai Hasan Saifouridzall yang Alhamdulillah hingga sekarang tetap terabadikan. Inilah fase transisi dimana putra-putri Kiyai Husnan yang sebelumnya terbiasa berdiri di posisi “kanan” (salaf) harus bergeser sedikit ke posisi “tengah” antara Qodimish sholih dan Jadidil Ashlah (antara pendidikan salaf dan pendidikan umum/modern). Dengan tertatih-tatih Madrasah Ibtidaiyah dijalankan sandungan kerikil-kerikil tajam menjadi hikmah tersendiri dalam proses kematangan lembaga ini hingga ahirnya pada saat MI sudah menemukan jati dirinya barulah jajaran Pengasuh merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) mengingat mayoritas santri yang mondok di Pesantren Ro’iyatul Husnan sebelumnya sudah selesai menempuh pendidikan MI/SD dan MTs/SMP sewaktu di kampung halamannya. Siswa-siswi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pondok Pesantren Ro’iyatul Husnan pada awalnya murni dari para santri yang bermukim di Pondok Pesantren akan tetapi pada perkembangan selanjutnya siswa-siswi yang ada juga input dari putra-putri masyarakat sekitar Pesantren, hal itu semakin menambah pesatnya kemajuan pendidikan tentunya dibarengi dengan pembenahan dan peningkatan kusalitas pendidikan dan sumber daya pengajarnya, sehingga pesantren Ro’iyatul Husnan tidak hanya besar secara kuantitas tapi juga mumpuni dalam kualitas.

Sepertinya pencapaian semua itu merupakan buah dari haliyah Kiyai Husnan ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditopang oleh do’a kedua orang tua beliau, hingga dapat di tarik benang merah bahwa Ilmu dan Barokah itu sejatinya berbanding lurus. Wallahu A’lam Bish Shawab. (MG)

4.3/5 - (13 votes)
Previous Article

Syekh Ismail Doakan Santri Zaha Dapat Ilmu Manfaat-Barokah

Next Article

Kiai Hasan Genggong Larang Sebut Kafir

Artikel Lainnya

Tinggalkan Balasan