KRAKSAAN – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M A., memberi kuliah umum di kampus Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan (Inzah) Genggong, Kraksaan, Rabu (5/9/2018). Dalam acara bertajuk Ngaji Bareng Ke-NU-an dan Kebangsaan, itu Kiai Said menyebut tuntutan menjaga ukhuwah wathaniyah semakin nyata.
Kuliah umum yang yang dimulai pukul 14.00 WIB, ini dihadiri ribuan mahasiswa tiga perguruan tinggai di bawang naungan Yayasan pesantren Zainul Hasan Genggong. Termasuk, dari para pengusus PC NU Kota/Kabupaten Probolinggo dan PC NU Kraksaan, serta badan otonomnya.
Sejumlah pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, juga hadir. Di antaranya, ada K.H. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah; K.H. Moh. Hasan Abdil Bar; K.H. Moh. Hasan Saiful Islam; Kiai Arif Umar; K.H. Moh. Hasan Naufal; dan Nun dr. Moh. Haris Damanhuri.
Selain mahasiswa Inzah Genggong, hadir juga mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Zainul Hasan dan Stikes Hafshawaty Zainul Hasan bersama dosen dan civitas akademika tiga perguruan tinggi di bawah naungan Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Sebelum banyak mengupas soal cinta tanah air dan Islam nusantara, Kiai Said juga sempat menyampaikan sejarah singkat perkembangan Islam di Indonesia. Selain membahas keberagaman yang telah menjadi kodrat masyarakat Indonesia, juga menjelaskan hubbul wathon minal iman.
Ia berpesan agar warga muslim negeri ini mencintai tanah air. Menurutnya, Islam dan nasionalisme harus saling memperkuat, tidak boleh dipertentangkan. Nasionalisme yang merupakan bagian dari keimanan Islam orang Indonesia, khususnya, masyarakat NU, telah ada sejak zaman pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari.
Kiai Said mengatakan, saat itu ulama-ulama di negara Timur Tengah, bahkan tidak berani mengatakan nasionalisme bagian dari iman keislaman. Ia juga mengingatkan untuk tidak menggunakan agama untuk mencapai tujuan politik. “Mari kita gunakan politik untuk memperkuat agama. Memperkuat agama bukan harus menghantam yang lain,” ujarnya.
Pada masa kini, menurutnya, amanah menjaga ukhuwah wathaniyah dituntut semakin nyata. Di tengah gejolak sentimen kesukuan, keagamaan, golongan, dan ras, spirit wathaniyah menjadi hal mendasar. Yakni, menyelamatkan dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Perkembangan informasi semakin masif lewat berbagai saluran pesan. Terutama, media sosial yang tanpa filter mendorong potensi konflik berujung perpecahan. Apalagi, pada masa mendekati pemilihan umum, banyak pihak khawatir persoalan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) makin besar,” jelasnya.
“Kehidupan demokrasi bukan berarti kebebasan tanpa ujung. Namun, suara rakyat menjadi pilar utama. Bukan demokrasi liberal yang diagungkan, tapi demokrasi Pancasila,” lanjutnya. (dra)