KEPERGIAN Almarhum Gus Moh. Baiduri Faishal alias Gus Dudung masih belum bisa membuat ratusan, bahkan ribuan pengagumnya move-on. Berbagai kenangan manis bersamanya terus digali, sehingga tak jarang membuat para pecintanya tak kuasa meneteskan air mata.
Maklum, Gus Dudung merupakan sosok yang sangat ramah dan familier. Tak hanya di kalangan santri, bapak dua putri dan seorang putra itu juga menorehkan kenangan manis bagi kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Dinas pendidikan Kota Probolinggo.
Hal itu diungkapkan oleh salah seorang guru MA Zainul Hasan Genggong, Ahmad Juwaini. Menurutnya, ketika dirinya mengabarkan Gus Dudung telah wafat, mereka mengaku sangat kehilangan karena Gus Dudung sosok yang lengkap. Cerdas, banyak ide, dan tidak keagungan meski beliau merupakan salah satu pengasuh Pesantren Zainul Hasan genggong.
“Kata mereka, beliau sering menjadi narasumber atau instruktur di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Probolinggo. Termasuk yang dinyatakan oleh Drs. Samsul Arif, M.Pd, salah satu Kasi Sarana Prasarana Dinas Pendidikan Kota Probolinggo,” ujarnya.
Sifat tidak keagungan ini juga diamini oleh sejumlah santri dan alumni Pesantren Zainul Hasan Genggong. Bahkan, banyak santri dan alumni yang sudah puluhan tahun mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong, belum pernah mencium tangannya. Itu, bukan karena santri enggan. Tapi, karena memang beliau selalu menarik tangannya agar tidak dicium santrinya.
Seperti diutarakan oleh Hasan Jazuli, salah seorang alumni Pesantren Zainul Hasan asal Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo. “Sifat ketawaduan beliau tinggi. Kami yang masih santrinya tidak pernah merasakan mencium tangannya, karena beliau memang tidak pernah mau. Kami yakin beliau minassholihin,” ujarnya.
Rupanya, tak hanya santri. Keponakannya, Nun Ahsan Qomaruszaman juga merasakan hal yang sama. Putra K.H. Moh. Hasan Saiful Islam ini mengatakan, Gus Dudung seorang motivator siswa-siswi, para guru, dan keponakannya. “Beliau sangat tawadlu, saya yang keponakannya dikala saya bersalaman pasti beliau tidak mau dicium tangannya. Padahal, saya keponakannya, beliau memanggil saya Gus,” ujarnya.
Menurut Nun Aka, Gus Dudung penuh dengan humor dan ceria. “Teringat saat adik saya Nun Alba sakit tahun 2002, beliau juga yang wira-wiri ikut membantu ke rumah sakit dr. Soetomo Surabaya. Saat Abuya sakit, beliau juga membantu mengobatinya. Saat Mama Sus sakit, beliau yang menghiburnya. Membuat suasana hidup penuh tawa,” ujarnya.
“Begitu juga saat Idul Fitri, semua terlihat bahagia tersenyum dan tertawa mendengar ceritanya,” lanjut Nun Aka. (*)