Kategori
Berita Terbaru

Lebih Baik Boarding School, Jangan Full Day School

BERLANJUT: Salah satu baliho penolakan 5 hari sekolah yang dipasang DPC Tanaszaha Kota Probolinggo, di Simpang Empat Kecapan, Kota Probolinggo.

PROBOLINGGO– Gelombang penolakan terhadap implementasi Permendikbud Nomor 23/2017 tantang Hari Sekolah, terus berlanjut. Rabu (16/8/2017), giliran Dewan Pengurus Cabang Ikatan Alumni dan Santri Pesantren Zainul Hasan (DPC Tanaszaha) Kota Probolinggo.

Mereka menyuarakan penolakannya melalui sejumlah media. Termasuk, memasang sejumlah baliho berkuran 3 meter kali 2 meter di sejumlah tempat keramaian di Kota Probolinggo. Seperti, terpasang di Simpang Empat Brak, Simpang Empat Kecapan, dan Simpang Tiga Ketapang.

Ketua DPC Tanaszaha Kota Probolinggo Ahmad Juwaini mengatakan, sejumlah baliho itu dipasang sebagai bentuk kritis terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan penerapan 5 hari sekolah. Sebab, kebijakan itu kurang tepat diterapkan, meski dengan embel-embel penguatan pendidikan karakter. “Pendidikan berkarakter itu tidak bisa hanya dilakukan dengan 5 hari masuk sekolah,” ujarnya.

Menurutnya, meningkatkan dan menerapkan pendidikan karakter harus dilakukan secara simultan dan kontinyu selama 24 jam. Serta, diperkuat dengan keteladan dari pendidiknya atau figur pendidiknya. “Karena itu, pembentukan karakter yang paling tepat dengan boarding school kalau di Indonesia adalah pondok pesantren, bukan 5 hari sekolah,” jelasnya.

Dengan memberlakukan 5 hari sekolah atau libur dua hari, jika tidak ditangani dengan baik dampaknya terhadap murid malah akan memberikan banyak kesempatan berbuat yang tidak diinginkan. Seperti keluyuran dan kebanyakan bermain gadget yang bukan tidak mungkin mengakses konten terlarang. “Kalau lingkungan masyarakatnya tidak terbentuk dengan suasana pendidikan, maka akan berbahaya bagi anak didik kita dua hari santai di rumah,” ujar pria yang juga guru dan wali murid ini.

Selain itu, dampak 8 jam di sekolah ini juga bisa membuat anak didik cenderung stes. Sehingga, tidak akan mampu menerima transfer ilmu, apalagi akan membentuk karakter peserta didik. “Ini semua karena dampak dari metode pembelajaran yang membosankan, lingkungan belajar yang tidak nyaman, tidak adanya tempat istirahat yang memadai, tempat ibadah yang tidak representatif, dan kantin yang tidak mendukung untuk asupan gizi karena terlalu banyak peserta didik di sebuah lembaga pendidikan,” ujarnya.

Juwaini mengatakan, belakangan ini isunya beda lagi. Bila awalnya berusaha memaksakan 5 hari sekolah dengan 8 jam pelajar, kini beda. Sekarang alasanya 8 jam di sekolah itu bukan untuk siswa, melainkan untuk guru. Sehingga, mempermudah guru mendapatkan tunjangan sertifikasi dan tak perlu cari tambahan jam mengajar ke sekolah lain.

Padahal, menurut Juwain, dengan tambahan jam sampai sore ini, cenderung terkesan hanya untuk memenuhi tugas guru secara administratif sudah melakukan tugas pembelajaran. Sehingga, ada konsekuwensi lain yang akan didapat. “Meskipun itu yang benar secara kseluruhan karena memang sudah ada pedomannya. Tapi, akibatnya guru cendrung pragmatif bukan karena dedikasi atau khidmah,” ujarnya. (*)

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version