Oleh: Syukron Dosi*
K.H. Aziz Masyhuri. Nama itu sudah tidak asing lagi bagi kalangan dunia pesantren. Saya secara pribadi mengenal beliau dari Majalah Aula, sejak ayah saya berlangganan Majalah NU Aula (dari edisi pertama sampai wafatnya ayahanda saya).
Majalah Aula edisi 80-an dan 90-an hampir setiap edisi majalah itu memuat namanya, baik sebagai penulis maupun tokoh yang diberitakan sebagai narasumber seminar ataupun halaqoh di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Ayah saya juga mengkoleksi satu set buku Ahkamul Fuqoha (kumpulan hasil bahtsul masail diniyyah dari muktamar ke muktamar yang didokumentasikan Kiai Aziz). Karya tulis lainnya adalah Biografi 99 Kiai, Hasil Muktamar Jamiyah Ahlit Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyah dan sebagainya.
Seingat saya, beliau juga pernah menjabat sebagai fungsionaris Lajnah Ta’lif wan Nasyr (Lajnah Penulisan dan Penerbitan) PBNU dan PP Rabithah Ma’ahid islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren) NU.
Saat beliau menjabat Ketua PP RMI, lewat Mukernas V Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, bersama KH Mutawakkil Alallah memediasi Gus Dur dengan Pemerintah kala itu, Soeharto. Proses islah itu kemudian kita kenal dengan “Salaman Genggong”.
Lewat buku beliau, kita bisa memahami bagaimana para muassis NU melakukan kontekstualisasi kitab kuning yang oleh sebagian kalangan justru dianggap sebelah mata. Seperti cerita mbah Wahab saat mengambil rujukan dari literatur Kitab Fath al-Qarib dan syarahnya (al-Baijuri) untuk memberikan petunjuk pada Bung Karno terkait kemelut Irian Barat kala itu.
Karena kecintaannya terhadap forum bahtsul masail, Kiai Aziz, sapaan kesehariannya selalu mengikuti dan mendokumentasikan mulai tingkat bawah sampai dengan forum nasional. Bahkan hingga kini banyak karya tulisnya yang menjadi bukti kecintaan kepada organisasi warisan para aulia ini.
KH Aziz Masyhuri Jombang, pernah berpesan: “Kita mengagumi ulama dari luar negeri, namun kita kerap tidak menyadari bahwa ulama luar negeri sangat kagum kepada ulama Nusantara.”
Bahwa khazanah ulama Nusantara adalah warisan tak ternilai, yang harus kita rawat, jaga dan terus dikaji untuk menjadi solusi peradaban Islam hari ini dan esok.
Keluarga besar NU dan langit Pesantren kembali berselimut duka. Kiai Aziz Masyhuri wafat pada Sabtu (15/4) pada usia 75 tahun. Ratusan karya telah lahir dari ketekunan kiai kelahiran Tuban, 17 Juli 1972 ini. Di antaranya, 95 judul buku berbahasa Indonesia, 26 buku berbahasa Arab, 7 buku terjemahan bahasa Jawa (makna gandul) dan buku-buku lainnya.
Betapa tidak, kiai yang dikenal sebagai dokumentator akhirnya berpulang. Ya, KH Aziz Masyhuri merupakan kiai yang tekun dalam mendokumentasikan hasil-hasil bahtsul masail dalam sejumlah buku, sehingga keputusan penting tersebut dapat tersebar ke masyarakat dengan mudah.
Kiai Aziz merupakan suami dari Nyai Hj Azizah Aziz Bisri Syamsuri. Dari pernikahan ini, Kiai Aziz dikaruniai tiga orang keturunan.
Pendidikannya ditempuh di beberapa pesantren dan lembaga pendidikan. Antara lain di Denanyar, Jombang, di Pondok Lasem Jawa Tengah, di Pondok Krapyak Yogyakarta dan sempat belajar di Madinah dan Makkah, Arab Saudi. Sedangkan di Nahdlatul Ulama, Kiai Aziz berkhidmah sejak menjalani masa muda di Tuban. Mulai dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU dan Pergunu. Kemudian di tingkat wilayah (provinsi), Kiai Aziz pernah aktif di LP Ma’arif NU Jawa Timur, Lembaga Dakwah, Lembaga Kemaslahatan Keluarga, menjadi Wakil Katib Syuriah PWNU Jatim, wakil rais syuriah dan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Sementara di tingkat pusat, Kiai Aziz sempat diberi amanah menjadi A’wan PBNU dan Ketua PP RMI.
Selamat jalan kiai Ensiklopedis. Lahul fatihah
* Penulis adalah Alumni Ponpes Zainul Hasan Genggong. saat ini aktif di Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU Jawa Timur