Momentum Hari Raya Idul Qurban; Non Bing Serukan Sikap Tasamuh, Tawazun, dan I’tidal - Pesantren Zainul Hasan
Kategori
Umum

Momentum Hari Raya Idul Qurban; Non Bing Serukan Sikap Tasamuh, Tawazun, dan I’tidal

Para santri dan masyarakat bersalaman dengan para pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong seusai shalat Id
Para santri dan masyarakat bersalaman dengan para pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong seusai shalat Id di Masjid Genggong

Genggong- Umat Islam di seluruh belahan dunia melaksanakan shalat Idul Adha saat Idul Qurban tiba, tak terkecuali Pesantren Zainul Hasan Genggong menggelar shalat Id di Masjid Jami’ Al-Barokah Genggong Kamis (24/09). Masyarakat sekitar pesantren dan seluruh santri memadati masjid sampai halaman depan pesantren.

Tampak beberapa ashabul bait berdatangan dan duduk di shaf terdepan, kehangatan kekeluargaan sangat terasa. Hal itu tampak di saat beliau-beliau saling bersalaman sebelum shalat Id dikumandangkan. Shalat Idul Adha dilaksanakan lebih awal dari pada shalat Idul fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, KH. Hasan Abdil Bar sebagai Imam, sementara non Hassan Ahsan Malik Khatibnya.

Sudah menjadi tradisi seusai shalat Id berlangsung, para jamaah langsung bergegas untuk ngalab barokah dengan bersalaman pada ashabul bait, sehingga terjadi desak-desakan, banyak santri yang masih kecil dan embah-embah yang terjepit. KH. Hasan Mutawakkil Allah menghimbau agar jamaah, khususnya para santri lebih tertib dalam bersalaman. “Santri jangan rebutan, ayo mundur, kami tunggu sampai semuanya selesai salaman, jangan buat mudharat,” singkatnya.

KH. Hasan Saiful Islam dalam pidatonya menyampaikan, bahwa shalat Idul Adha adalah salah satu shalat sunah yang dianjurkan syariat. Dalam momentum ini, umat islam bisa Taqorrub ilallah (mendekatkan diri pada Allah) dengan lebih baik dan tidak kasar, fundamental, tapi harus tasamuh, tawazun dan i’tidal sebagaimana yang telah ditanamkan oleh Nahdhatul ulama. Nahdatul ulama (NU) menghargai pandangan-pandangan orang lain yang berseberangan dengannya. Berbeda dengan Wahabi dan kelompok-kelompok lain. Pada tahun 1950an pemerintah Indonesia mengadakan fusi partai, umat islam di bawah naungan partai Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) salah satu putra KH. Moh. Hasan, KH. Asnawi mengibarkan bendera partai Masyumi di depan halaman Masjid Al-Barokah.

Beliau menyampaikan pada KH. Moh. Hasan bahwa Masyumi adalah organisasi umat islam, tapi KH. Moh. Hasan tidak berkenan dengan partai tersebut, beliau ber-dawoh Masyumi dalam bahasa arabnya mastum artinya celaka. Namun demikian, KH. Moh. Hasan tidak mengharamkan partai tersebut dan tidak memberikan alasanya. Pada tahun 1952 partai Masyumi dibubarkan presiden Soekarno. “Beliau sangat berhati-hati sekali dalam memberikan vonis haram,” tegas Non Bing.

Lanjutnya, Pada tahun 1998 saat gencar-gencarnya reformasi, bayak kejadian pembakaran gereja di Jakarta dan sempat terjadi pula pembakaran gereja di daerah Kraksaan tapi berkah petunjuk KH. Sholeh Nahrawi (Non Kalim), tidak berkenan hal tersebut. beliau pernah bermimpi KH. Hasan Saifouridzall dan Nyai. Hj. Himami Hafsawaty melarang keras membakar gereja. “Dan disitulah sesepuh pendiri Pondok Pesantren Genggong memegang teguh sikap tasamuh, tawazun dan i’tidal, itu perlu di ketahui para pemuda-pemuda,” jelasnya.

Sayyid Muhammad bin Alawy Almaliky, Mekkah Almukarromah menjelaskan, sikap tasamuh, tawazun dan I’tidal tidak pernah mengkafrikan sesama islamnya. “Dalam paham kita, ajaran Nahdlatul Ulama, dengan sikap i’tidal atau tawassuth (tengah-tengah), tasamuh (toleransi), dan tawazun (seimbang) tidak berpaham seperti fundamentalis atau liberalis dalam pemikiran agama, seperti halnya ulama-ulama terdahulu kita,” pungkas Non Bing. [Mfd/Alf]

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version