KH Ahmad Nahrawi

Dikalangan warga Probolinggo-Bondowoso, Sosok, Non Syamsuri, atau lebih dikenal dengan KH Ahmad Nahrawi tidaklah asing. Semasa hidupnya, KH. Ahmad Nahrawi adalah sosok ulama dermawan dan alim.KH. ACMAD NAHROWI (doc. PIP)

“Ada 41 masjid yang tersebar di daerah Probolinggo dan Bondowoso hasil inisiatif KH. Ahmad Nahrawi. Beberapa hasil bangunan Masjid hasil inisiatifnya adalah Masjid Berani Wetan,  Condong, Jurang jero, kaliacar, Kalimojo, Tiris, Bettek, Besuk, Bondowoso, Masjid Jami’ Kraksaaan,” Ujar alumni PP. Zainul Hasan, Ustad Saifuddin Zuhri, yang semasa nyantri pernah menjadi khadam pribadi Kiai Abdul Jalil yang tak lain adalah anak KH. Ahmad Nahrawi.

Kemampuan menginsiatifi pembangunan puluhan masjid tidak menjadikan Kiai Ahmad Nahrawi meminta bantuan pada warga sekitar, dimana masjid didirikan. Menurut Saifuddin yang mendengar langsung dari penuturan Kiai Abdul Jalil, bahwa Kiai Ahmad Nahrawi mampu merubah daun Manyong yang banyak dijumpai dipinggir sungai menjadi uang.

Selain karomah membuat daun manyong menjadi fulus, Kiai Ahmad Nahrawi ternyata adalah seorang khafid Al-qur’an. Selama masa hidupnya, Kiai Ahmad Nahrawi tidak pernah memberi tahu sebelum akhirnya ajalnya tiba pada hari Rabu Kliwon  16 Rabius Tsana  1362 H/ 2 Januari 1942 M.

“Kiai Ahmad Nahrawi mengakui telah hafal Al-qur’an kepada anak-anaknya. Dan ia berpesan agar anak-anaknya takut kepada Allah. Sebab menurut Kiai Ahmad Nahrawi, orang yang takut kepada Allah akan dipenuhisegala kebutuhannya di dunia,” ujarnya.

Menurut Kiai Abdul Jalil yang dikutif Ustad Saifuddin Zuhri, semasa hidupnya, Kiai Ahmad Nahrawi secara istiqomah mengamalkan sholawat kubro. Menurut Saifuddin, sholawat kobro sendiri adalah hadiah pemberian Allah yang diberikan malaikat Jibril kepada Rasulullah. Sholawat ini juga biasa disebut sholawat langit karena satu-satunya sholawat yang bukan buatan manusia (Selain sholawat Jibril). Selain itu beliau mengamalkan pembacaan surat sab’ah (7) yakni surat Sadjadah, Yasin, Ad-dhuhan, Ar-rahman, Al-waqiah, Al-hadid, Al-mulk.

Perlu diketahui, Kiai Ahmad Nahrawi dalam hidupnya meningal sejumlah keturunan. Mereka adalah Kiai Abdul Jalil, Kiai Tuhfah Nahrawi, dan Kiai Sholeh Nahrawi, yang biasa dipanggil Non Kalim.

Ketua NU Jawa Timur, sekaligus pengasuh pondok Zainul Hasan Genggong, KH. Mutawakkil Alallah, pada pengajian di haul KH. Sholeh Nahrawi pada bulan November 2012 menandaskan, bahwa seluruh keturunan Kiai Ahmad Nahrawi baik yang laki-laki maupun yang perempuan semuanya Waliyullah (orang yang dekat dan menjadi kekasih Allah).

“Seluruh keturunan Kiai Ahmad Nahrawi tidak memiliki generasi penerus. Tapi mereka semua adalah waliyullah,” paparnya.

Kiai Ahmad Nahrawi merupakan anak pertama (sulung) dari pasangan KH. Moh. Hasan dan Nyai Ruwaidah. Masa kecil beliau banyak dihabiskan dilingkungan komplek pesantren Genggong.

Menurut Saifuddin, KH. Moh. Hasan menginginkan anak sulungnya ini mengikuti jejaknya dengan berguru kepada KH. Kholil Bangkalan yang sudah masyhur kealiman dan kekaromahannya. Bahkan KH. Moh. Hasan sendiri nyantri pada gurunya ini kurang lebih hampir 32 Tahun.

“Dengan nyantri kepada gurunya ini, KH. Moh.Hasan berharap anaknya kelak mampu memberikan kemajuan  yang positif pada pesantren Genggong yang menjadi tanggung jawabnya,” terangnya

Sehingga menginjak anaknya tumbuh dewasa, berangkatlah beliau bersama anak sulungnya ini ke pesantren KH. Kholil bangkalan. Sebagai orang tua yang melihat anaknya mau menuruti keinginannya, KH.Moh. Hasan begitu gembira. Sehingga setelah memasrahkan anaknya kepada KH. Kholil, ia kemudian berpamitan dan kembali pulang ke Genggong.

Dalam perjalanan pulang, tidak ada firasat apapun dalam hatinya. Namun betapa terkejutnya beliau, ketika sampai dirumah, anak sulung yang belum lama ia pasrahkan sudah duduk disebelah istrinya (Nyai Ruwaidah). Raut wajah kecewa terlihat dimatanya. Tapi sebelum lontaran kata kecewa menyeruak keluar dari lisan beliau, Nyai Ruwaidah menenangkan hati suaminya dengan mengatakan bahwa Syamsuri sudah melahap habis ilmu Kiai Moh. Hasan.

Menurut Syafuddin, yang mengutip dari Non Abdul Jalil, keikhlasan KH. Moh. Hasan menerima kepulangan anak sulungnya dari Bangkalan, disebabkan pengetahuannya akan ilmu mukasyafah yang dimiliki nyai Ruwaidah, yang tak lain istrinya sendiri.

Setelah mendapatkan rejeki lebih dari Allah, KH.Moh. Hasan dan Nyai Ruwaidah menyuruh anaknya itu pergi beribadah haji ke tanah suci. Dan awal mula kekaromahan Non Syamsuri yang berganti nama H.Ahmad Nahrawi ini terjadi selepas kepulangannya dari tanah suci Mekkah.

Diceritakan oleh Kiai Non Abdul jalil, sebelum berangkat haji, Kiai Ahmad Nahrawi tidak pernah mengajar kitab Ihya ulumuddin yang terbilang sulit dalam memahaminya. Namun tidak demikian dengan Kiai. Ahmad Nahrawi muda ini. Ketika abahnya (ayah) berhalangan mengajar, ia dengan yakin menggantikannya.

Dan diluar dugaan, Kiai Ahmad Nahrawi tidak mengajar Ihya dari awal, melainkan melanjutkan pelajaran Ihya’ Ulumuddin Juz Tsani (jilid 2) dimana Juz Awwal (jilid 1) sudah diajarkan Ayahnya sendiri. Dan mendengar kemampuan anak sulungnya ini, KH.Moh.Hasan teringat dengan kebenaran ucapan istrinya sendiri.

Semasa hidupnya, Kiai Ahmad Nahrawi mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyai Marfuah, yang merupakan anak dari saudara Ibunya sendiri. Dan beliau kemudian dikarunia 11 anak putra-putri. Nama anak beliau adalah Moh. Chozin, Yahya Nahrawi, Abdullah, yang kemudian kita kenal dengan sebutan KH. Ahmad Taufiq Hidayatullah, Maryamah, Abdurrahman, KH. Muhammad Tuhfah, Khodijah, Nun Abdul Jalil , Abdul Kalim, atau yang dikenal dengan Non kalim, Sufiyah, Fashihah.

Selain kealiman dn kedermawanannya yang tersebar luas, Kiai Ahmad Nahrawi tergolong anak yang benar-benar memikirkan perkembangan masa depan pesantren ayahnya. Hal ini terlihat dari usahanya membuat bangunan yang kurang layak dirubah menjadi bangunan yang lebih kokoh. Salah satu dari usahanya ini adalah bangunan tembok pesantren yang sebelumnya terbuat dari pring (bambu), ia rubah menjadi tembok pada tahun 1939.

KH. ACMAD NAHROWI (doc. PIP)Dalam melakuan perombakan bangunan, Kiai Ahmad Nahrawi selalu melakukan musyawaroh dengan ayahnya sebagai pengasuh. Termasuk  pembangunan madrasah pertama yang dilakukan pada tahun 1934. Bahkan Kiai Ahmad Nahrawi adalah penggagas perluasan pesantren Genggong hingga mencapai area 10 hektar.