Lautan Cinta Nyai Hafsha

Latar Belakang

Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong merupakan salah satu pesantren tertua dan termasyhur di wilayah Jawa Timur. Pesantren yang berdiri sejak tahun 1839 ini lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Pondok Genggong. Di usianya yang mencapai 183 tahun, Pondok Genggong memiliki 9.428 santri. Pondok Genggong juga diperkaya dengan dua belas unit pesantren.

Salah satu unitnya adalah Yayasan Hafshawaty. Penamaan ‘Hafshawaty’ diambil dari nama Nyai Hj. Himami Hafshawaty, istri Pengasuh ke-3 Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, K.H. Hasan Saifourridzall. Ketua Yayasan Hafshawaty, K.H. Moh Hasan Mutawakkil ‘Alallah menjelaskan bahwa selain bentuk birr al-walidain terhadap sang umi (Nyai Hj. Himami Hafshawaty), penamaan ‘Hafshawaty’ juga Beliau kehendaki sebagai bentuk upaya mengenang jasa dan mengharap barokah sang umi.

Di Pondok Genggong, nama Nyai Hj. Himami Hafshawaty termasyhur sebagai seorang guru besar. Namun, masih banyak kalangan yang belum mengetahui kisah hidup dan jasa-jasanya. Maka dari itu, dalam esai biografi yang bertajuk “Lautan Cinta Nyai Hafsha; Sebuah Catatan Biografi Nyai Hj. Himami Hafshawaty” ini, Tim Penulis akan memaparkan kisah hidup Beliau, sejak lahir hingga tutup usia.

Kehadiran Sang Putri

Pada tahun 1936, pasangan suami istri tersebut dikaruniai seorang putri. Sang putri lahir di Sukodadi, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Dinamailah: Himami Hafshawaty. Kedua orang tuanya lebih sering memanggilnya: Hafsha. Sejak kecil, Hafsha mendapat pendidikan agama dari kedua orang tuanya, khususnya ayahanda. Tidak hanya itu, dengan terlahirnya Ia di tengah keluarga pesantren, tentu mendorongnya untuk belajar agama secara lebih mendalam. Ia mengenyam pendidkan agama di Pondok Pesantren Manbaul ‘Ulum, Sukodadi, pesantren milik pamannya, K.H. Abu Hasan Asy’ari. Di sana Ia mempelajari berbagai macam disiplin keilmuan, di antaranya ilmu tajwid Al-Qur’an.

Di samping mendalami ilmu agama, aktifitas sehari-hari Hafsha ialah membantu keperluan rumah tangga keluarga. Ia tampil dalam keluarga sebagai seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tua sekaligus seorang adik yang melayani keempat kakaknya. Menginjak usia belasan tahun, Hafsha terbiasa berjualan buah belimbing. Dengan keuntungan yang tak seberapa, Hafsha selalu menyisihkan uang hasil penjualan untuk membelikan keponakannya buah tangan. Sifat lemah lembut dan kedewasaannya telah menghantarkan Hafsha menjadi seseorang yang mudah berbagi dan mendahulukan kepentingan orang lain. Hafsha memiliki kebiasaan unik, Ia selalu menunduk (menjaga pandangan) tatkala di luar rumah, Ia hanya memandang jika orang lain menyapanya.

Gadis Pilihan Sang Wali

Tahun demi tahun berlalu, Hafsha tumbuh menjadi sosok gadis yang berperangai menarik. Kecantikan wajah dan sifat seakan berpadu pada diri Hafsha. Kemandirian, kelembutan, dan kedewasaan menjadi perhiasan utama Hafsha. Tidak heran jika banyak hati pria yang tertarik padanya. Terbukti di usianya yang ke-16 tahun, Hafsha dipinang oleh seorang lelaki. Namun, Allah berkehendak lain, hubungan mereka tidak berlanjut ke jenjang pernikahan.

Menariknya, sepekan sebelum peristiwa batalnya pernikahan Hafsha dengan calon suami, datang seorang kiai kepada K.H. Hadlrawi. Kiai tersebut merupakan salah seorang sahabat K.H. Hadlrawi, yakni Hadratus Syekh K.H. Moh Hasan Genggong (terkenal dengan panggilan: Kiai Sepuh), Pengasuh Pondok Pesantren Genggong. Beliau adalah sosok yang diyakini masyarakat sebagai Wali qutub yang kaya akan karomah, di antaranya ialah bisa mengetahui hal-hal yang belum terjadi.Dalam pertemuannya dengan K.H. Hadlrawi, tidak banyak yang Beliau sampaikan. Kiai Sepuh hanya mengatakan bahwa kelak Hafsha akan menjadi menantu Beliau.

Menjadi Seorang Nyai

Pada tahun 1952, Kiai Sepuh dan K.H. Hadlrawi merencanakan perjodohan di antara putra dan putri mereka. Putra Kiai Sepuh, K.H. Hasan Saifourridzall kala itu berusia 24 tahun. Sedangkan Hafsha masih berusia 16 tahun. K.H. Hasan Saifourridzall yakin untuk menikahi Hafsha hanya dengan melihat secara sekilas pada wajah Hafsha. Karena keduanya merasa cocok serta taat kepada orang tua, akad pun dilaksanakan pada pertengahan tahun 1952. Kiai Sepuh menyaksikan pernikahan keduanya secara langsung (Hafsha menjadi satu-satunya istri K.H. Hasan Saifourridzall yang pernikahannya disaksikan langsung oleh Kiai Sepuh).

1952 menjadi tahun yang tak terlupakan bagi Hafsha. Bagaimana tidak, selain tahun tersebut menjadi tahun pernikahan Hafsha, pada tahun itu juga sang suami, K.H. Hasan Saifourridzall diangkat menjadi Pengasuh ke-3 Pondok Pesantren Genggong. Artinya, Hafsha mendampingi K.H. Hasan Saifourridzall sebagai pengasuh pesantren sejak nol. Seperti umumnya tradisi pesantren yang ada di Jawa Timur, seorang istri kiai akan dipanggil ‘nyai’ oleh para santri. Hafsha bukan lagi gadis biasa, kini Ia menjadi seorang nyai, Nyai Hafsha. Sejak saat itulah perjalanan Hafsha sebagai seorang nyai dimulai.

Peran Nyai Hafsha di Rumah Tangga

Sebagai seorang istri sholehah, Nyai Hafsha tentunya melayani kebutuhan sang suami. Beliau jarang sekali menatap wajah sang suami, hanya sesekali memandang, itupun dengan penuh rasa ta’dzim. Dalam berbicara dengan sang suami, Beliau tidak pernah bernada lebih tinggi, tutur katanya lembut dan suaranya halus.

Pada tahun 1954, Nyai Hafsha dan sang suami dikaruniai seorang putri. Sang suami menamainya Diana Susilowaty. Kini, tugas Nyai Hafsha bertambah, di samping melayani sang suami, Beliau harus mengasuh putrinya. Beberapa dasawarsa kemudian, Allah mengkaruniai lebih banyak buah hati kepada pasangan suami-istri tersebut. Tiga orang putri dan dua orang putra. Ketiga putri tersebut di antaranya, Malikal Bulqis, Endah Nihayati Saif, dan Idhom Umi Ati’ah. Sedangkan untuk putra, Moh. Hasan Ainul Yaqin dan Moh. Hasan Mutawakkil ‘Alallah (Gus Gudel). Yang belakangan ini (Gus Gudel), pada abad 21 menjadi salah seorang kiai besar di Jawa Timur. Dua periode menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur (2008-2013 dan 2013-2018). Tidak berhenti sampai di situ, dua tahun kemudian Beliau diangkat menjadi Ketua MUI Jawa Timur (2020–2025).

Nyai yang Dicintai para Santri

Nyai Hafsha dipercaya sang suami untuk menjadi Pengasuh Pondok Putri Genggong. Bagi para santri, Beliau menjadi sosok guru sekaligus ibu. Beliau dikenal akan kesabarannya dalam mendidik para santri. Tidak ada seorang santri pun yang pernah Beliau marahi. Jika terdapat santri yang melanggar, Beliau akan menasehati dengan hati serta suara yang lembut. Sehingga, apa yang disampaikan kepada para santri juga masuk ke dalam hati mereka. Terdapat kebiasaan unik yang Beliau miliki tatkala sedang berada di kediaman, Beliau memasang tabir pembatas antara ruangan Beliau dengan ruangan lain. Sehingga, para santri (khususnya putra) yang hendak berbicara kepada Nyai Hafsha tidak bisa melihat wajah Beliau.

Saat dini hari, Beliau rutin membangunkan para Haddam (santri yang mengabdi kepada Beliau), mengajak mereka untuk sholat tahajud berjamaah. Menjelang Shubuh, Beliau bergegas ke mushola putri untuk memimpin jamaah sholat Shubuh. Setelah itu, Beliau mengajar ngaji Al-Qur’an para santri di waktu ba’da Shubuh. Ilmu Tajwid Beliau tidak perlu diragukan, dari suara santri yang membaca Al-Qur’an tidak sesuai dengan tajwid pun Beliau sudah mengetahuinya. Memasuki waktu petang, Beliau mengimami sholat Maghrib di mushola putri.

Kiprah Sang Nyai di Masyarakat

Masyarakat sekitar sangat mengagumi Nyai Hafsha. Pasalnya, Beliau selalu menampilkan akhlak al-karimah di hadapan mereka. Beliau senantiasa menerima tamu wanita yang datang ke kediaman Beliau untuk bertanya seputar ilmu agama maupun masalah keluarga. Bahkan, para tamu tak sungkan untuk memohon doa dari Beliau. Tidak hanya itu, Beliau selalu berusaha untuk hadir tatkala ada masyarakat sekitar yang menikah, sakit, maupun wafat. Ketika Beliau hendak mengunjungi suatu rumah, para tetangga langsung berkumpul di rumah tersebut. Mereka memuliakan Beliau sebagaimana Beliau memuliakan para tamunya.

Insan yang Kaya akan Karomah dan Istiqomah

Beliau tidak mengharap dunia, hanya akhirat yang menjadi tujuannya. Masyarakat meyakini bahwa banyak karomah yang dimiliki Nyai Hafsha, di antaranya yakni bisa mengetahui isi hati seseorang. Ketika seorang santri berbicara tidak jujur kepada Beliau, Beliau sudah mengetahuinya sejak awal. Beliau juga dianugerahi dengan Haibah yang besar, tidak sedikit santri yang bergetar sejak jarak puluhan meter ketika mendapat perintah untuk mengantarkan sesuatu ke kediaman Beliau. Selain itu, Beliau selalu menjaga wudhu (daim al-wudhu), terbukti pada wajah Beliau yang tidak pernah terlihat layu, selalu segar.

Walaupun Beliau tahu sang suami menikah lagi, sikap Beliau terhadap sang suami tidak berubah, tetap melayani dengan sepenuh hati. Bahkan, Beliau turut mengurus seluruh putra-putri sang suami, bukan hanya putra-putri kandung Beliau. Sang suami harus membagi waktu kepada istri-istrinya. Sehingga, sang suami tidak sepenuhnya berdiam di kediaman Beliau. Meski begitu, Beliau selalu menunggu sang suami pulang. Sesampainya sang suami di rumah, Beliau tidak pernah bertanya “Dari mana? Dengan siapa?” Beliau hanya bertanya “Apa yang bisa sahaya bantu untuk sampeyan, mas?” Dalam beberapa momen, Nyai Hafsha memaksakan diri untuk tidur di depan pintu, hal itu Beliau lakukan untuk menunggu sang suami apabila rawuh pada dini hari. Ketika sang suami membuka pintu, Nyai Hafsha langsung menyambut sang suami dan mengajaknya untuk sholat tahajud berjamaah.

Gugur Bunga

Dengan segala hal yang Beliau lakukan, semua kalangan mencintai Beliau. Terutama para santri. Pada tahun 1990, K.H. Hasan Saifourridzall memerintahkan kepada seluruh santri Pondok Genggong untuk bersalaman kepada Nyai Hafsha. Hal tersebut mungkin pertanda akan datangnya sesuatu. Benar saja, di usia Beliau yang ke-54, Beliau jatuh sakit. Pihak keluarga mengatakan bahwa Nyai Hafsha menderita gangguan sistem pencernaan. Kondisi yang semakin mengkhawatirkan mendorong sang suami untuk membawa Nyai Hafsha ke sebuah rumah sakit di Surabaya. Menjelang tahun 1990, dokter menyatakan bahwa perlu dilakukan operasi pembuangan empedu pada sistem pencernaan Beliau. Usai operasi, Beliau dibawa ke kediaman Gunung Sari Indah, Surabaya. Kala itu, Beliau terbaring lemas di atas ranjang, sementara sang suami menemani Beliau di atas matras. Dalam keadaan sakit pun sifat sopan santun Beliau nampak, Beliau merasa tidak enak dan meminta sang suami untuk beristirahat di atas ranjang pula. Namun, sang suami menolak permintaan tersebut.

Pada akhir bulan Mei 1990, kakak sulung Nyai Hafsha, Pak Abdurrahman memimpikan mertua Nyai Hafsha, Al-Marhum Al-‘Arif Billah K.H. Moh Hasan Genggong (wafat: 1955). Dalam mimpinya, sang mertua memberi perintah agar segera membawa Nyai Hafsha kembali ke tanah Genggong. Mimpi tersebut Ia sampaikan kepada putra laki-laki pertama Nyai Hafsha, K.H. Moh Hasan Mutawakkil ‘Alallah (Gus Gudel). Melihat kondisi Nyai Hafsha yang tak kunjung membaik, sang putra menolak perintahnya. Namun, Pak Abdurrahman terus mendesak agar Nyai Hafsha segera di bawa ke Genggong. Pada akhirnya, Nyai Hafsha pun dibawa ke Genggong. Sesampainya di Genggong, Nyai Hafsha melanjutkan istirahatnya. Kehendak Allah berada di atas segalanya, Nyai Hafsha tidak kunjung sembuh. Belum sempat Nyai Hafsha berjumpa kembali dengan para santri, Allah telah memanggil Beliau, Nyai Hj. Himami Hafshawaty binti K.H. Hadlrawi untuk menghadap kepada-Nya. Seorang istri, ibu, sekaligus guru yang istimewa itu telah wafat.

Tepat pada malam Jumat, 5 April 1990 M / 10 Ramadhan 1410 H, Beliau wafat di usia 54 tahun. Tersebarlah berita duka tersebut ke seantero Genggong. Tanah Genggong berduka. Para santri dan masyarakat kehilangan sosok yang selama ini menjadi guru dan suri tauladan mereka. Atas arahan K.H. Hasan Saifourridzall, Al-Marhumah dimakamkan di samping maqbarah Al-Marhum Al-‘Arif Billah K.H. Moh Hasan Genggong. Kala itu jalanan Genggong dipadati kendaraan para penziarah. Selang beberapa hari, suasana berkabung tak kunjung reda di keluarga Beliau. Putra-putri dan sang suami tidak henti mengenangkan Beliau. Hingga di suatu saat, sang suami bercerita kepada putra laki-laki pertamanya, “Kini ayah tahu mengapa Rasulullah merasa sangat bersedih ketika ditinggal Sayyidah Khadijah,” kenang sang suami, “Nak, kelak jika aku wafat, aku ingin wafat pada malam Jumat sebagaimana ibumu wafat.” Satu tahun kemudian, 13 Juni 1991 M / 1 Dzulhijjah 1411 H, sang suami pun wafat. Persis seperti keinginannya, pada malam Jumat, seperti sang istri. Bahkan, mereka wafat di bulan yang kategorinya mulia menurut Islam, Ramadhan dan Dzulhijjah.

Hikmah Ilahi

Pada tahun 2006, putra laki-laki pertama Nyai Hj. Himami Hafshawaty, K.H. Moh Hasan Mutawakkil ‘Alallah (Pengasuh ke-4 Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong) mengabadikan nama sang umi pada sebuah yayasan yang didirikannya, Yayasan Hafshawaty. Yayasan Hafshawaty berkembang pesat. Terbukti pada saat ini (2022) Yayasan Hafshawaty terkenal dengan segudang prestasi di kancah nasional hingga internasional.

Menulis biografi Beliau bak menyajikan sebuah buket bunga dari beribu hektar taman bunga. Begitu banyak sifat mulia dan kisah inspirasi yang Beliau miliki. Tak hanya itu, rasa cinta yang melekat pada diri Beliau begitu luas dan mendalam layaknya laut. Kiranya pantas apabila kami mengatakan: membaca biografi Beliau bak menyelami lautan cinta. Ya, “Lautan Cinta Nyai Hafsha”.

Oleh : Tim Jurnalistik Pondok Hafsha PZH Genggong