Aborsi dengan alasan hamil akibat pemerkosaan, bisakah dibenarkan?

Tidak ada komentar Share:

 

Aborsi Menurut Islam
Hukum Aborsi Menurut Islam

 

Assalamu ‘alaikum, Ustadz.Sekarang sedang ramai kontroversi tentang PP nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Hal yang dikontroversikan di dalam peraturan tersebut adalah dibolehkannya aborsi pada pasal 31 atas dua kondisi:
1. Indikasi kedaruratan medis
2. Kehamilan akibat perkosaan
Bagaimanakah ulama-ulama besar Islam merumuskan fiqih terkait permasalahan aborsi ini, Ustadz?
Mohon penjelasannya Terima kasih banyak.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

A. Sejak Awal Sudah Kontroversi

Perdebatan ini sebenarnya sudah lama terjadi dan agaknya sudah merengsek ke wilayah yang agak bersifat politis. Di satu pihak, keinginan untuk melegalkan aborsi datang dari kalangan liberal dan sekuler. Sementara di pihak lain banyak kalangan yang menentangnya, baik kalangan tokoh agama mampun dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri.

Di antara mereka yang termasuk kalangan yang ingin melegalkan aborsi sebut saja salah satunya adalah kalangan feminis. Mereka ini sejak lama ingin melegalkan aborsi dalam tatanan hukum positif di Indonesia.

Salah satu senjata alasan yang digunakan bahwa para wanita lebih berhak atas tubuhnya. Menurut mereka, hamil atau tidak hamil adalah pilihan yang merupakan hak seorang wanita. Kalau seorang wanita tidak rela dan tidak bersedia untuk hamil, maka dia berhak untuk mengaborsi janin dalam kandungannya.

B. Pihak Yang Menentang Legalisasi Aborsi

Tentu saja sikap dan pandangan yang agak liberal ini ditentang ramai-ramai oleh banyak pihak. Bukan hanya kalangan agama tetapi juga kalangan dokter sendiri lewat sikap dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

1. Majelis-majelis Keagamaan

Bukan hanya para ulama muslimin saja yang menentang, bahkan semua pimpinan agama yang ada di Indonesia sepakat menentangnya. Salah satu bentuk penentangan ini adalah ditandatanganinya pernyataan bahwa hak hidup seseorang mesti dijamin sejak selesainya pembuahan.

Keenam lembaga itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili Indonesia, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Pusat, Perwakilan Umat Budha Indonesia dan Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia. Tokoh-tokoh dari 6 lembaga agama di Indonesia menandatanganinya pada tahun 2009.

2. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin mengatakan, pihaknya keberatan dengan legalisasi aborsi berdasarkan PP 61/2014.

Ada dua hal yang menjadi alasan keberatan IDI. Menurutnya, pertama hal itu melanggar Pasal 338 KUHP. Kedua hal tersebut juga bertentangan dengan sumpah profesi dokter dan aspek sosiologis masyarakat.
“Jadi kami tidak mau kalau karena ikut melakukan aborsi yang dilegalkan, kami kena pidana. Kami juga tidak ingin melakukan hal-hal yang menurut sumpah profesi dokter, dan semua agama serta berdasarkan pertimbangaan sosiologis serta adat istiadat itu dilarang,” kata Zainal di Sekretariat PD IDI, Menteng Jakarta Pusat, kemarin.

Para dokter disumpah untuk melestarikan kehidupan, sehingga dia yakin para dokter yang menjunjung tinggi sumpah akan sangat keberatan apabila melakukan aborsi terhadap perempuan yang menjadi korban perkosaan. Secara pribadi Zainal lebih menginginkan agar terkait aborsi yang dilegalkan untuk kasus tertentu ini tidak melibatkan dokter.

Maka kalau PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ini banyak mendapatkan sorotan, kita bisa maklum karena sejak jauh-jauh hari memang sudah ada sejarah kontroversinya.

C. Pandangan Para Ulama Klasik Terhadap Aborsi

Tidak ada perbedaan pendapat sama sekali dalam pandangan ulama tentang haramnya aborsi atau pengguguran janin bayi yang dikandung oleh orang tuanya. Semua sepakat mengharamkannya atas dasar diharamkannya pembunuhan atas nyawa manusia.

Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Karim :

وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu yang benar. (QS. Al-Isra’ : 33)

Apapun alasan yang dijadikan sebagai argumentasi, tetapi yang namanya pengguguran janin tetap saja sebuah tindakan pembunuhan yang menghilangkan nyawa. Dan hal itu merupakan tindakan kejahatan yang hukumnya dosa besar.

Bahkan ada ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa membunuh satu nyawa itu sama saja dengan membunuh semua nyawa manusia.

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al-Maidah : 32)

D. Perbedaan Pendapat Atas Aborsi Bila Belum Ditiupkan Ruh

Kalau pada kasus bayi yang sudah hidup dan ditiupkan ruh ke dalam dirinya para ulama sepakat untuk mengharamkan aborsi, maka pada kasus dimana calon bayi itu masih belum ditiupkan ruh, memang kita menemukan setidaknya ada empat pandangan ulama yang berbeda.

Pertama, ada sebagian ulama yang menghalalkannya secara mutlak. Kedua, ada yang membolehkan hanya bila ada udzur yang syar’i dan diterima secara ilmu kedokteran. Ketiga, ada yang memakruhkan. Keempat, ada juga yang tetap bersikukuh untuk mengharamkannya secara mutlak.

1. Boleh Mutlak

Pandangan pertama adalah membolehkan secara mutlak, dalam arti apapun alasannya, hukumnya tidak mengapa untuk mengugurkan janin, selama janin itu belum punya nyawa. Sebab yang menjadi ‘illat keharaman adalah penghilangan nyawa. Tidaklah disebut suatu perbuatan itu sebagai pembunuhan kecuali bila dilakukan atas makhluk yang bernyawa.

Sedangkan janin yang belum ada nyawanya sama sekali tidak bisa disebut sebagai makhluk hidup. Maka pengugurannya sangat jauh dari makna pembunuhan.

Dan Rasulullah SAW sendiri yang menjelaskan bahwa sebelum usia 120 hari, janin itu belum punya ruh alias belum bisa disebut sebagai manusia.

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْل ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْل ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسِل الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ

Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu pula kemudian diutuskan malaikat dan ditiupkan ruh (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau ditelusuri latar belakang mazhab fiqih masing-masing, para ulama yang membolehkan aborsi ini cukup merata di empat mazhab. Pada masing-masing mazhab ternyata kita temukan tokoh ulama yang membolehkannya asalkan belum ditiupkan ruh ke dalamnya, meskipun masing-masing berbeda dalam menetapkan kapan batasan ruh ditiupkan.

a. Mazhab Al-Hanafiyah
Di dalam mazhab Al-Hanafiyah ada sebagian ulama yang berpendapat dibolehkannya pengguguran kandungan secara mutlak, selama janin itu belum punya nyawa.. [1]

b. Mazhab Al-Malikiyah
Selain itu yang juga berpendapat seperti ini adalah Al-Lakhmi dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, yaitu selama belum berusia 40 hari. [2]

c. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Dan dari kalangan mazhab Asy-Syafi’iyah yang juga sejalan dengan pandangan ini adalah Abu Ishak Al-Marwazi. Dimana belia menyebutkan bila janin belum berusia 40 hari maka belum bisa disebutkan manusia.

Al-Imam Ar-Ramli menyebutkan bahwa seandainya nuthfah itu terbentuk dari hasil zina, maka dikhayalkan boleh dibunuh asalkan sebelum ditiupkan ruh ke dalamnya. [3]

d. Mazhab Al-Hanabilah
Di dalam mazhan Al-Hanabilah juga ada satu qaul yang membolehkan pengguguran kandungan kehamilan. Dimana seorang wanita dibolehkan minum obat yang bisa menggugurkan nuthfah asalkan sebelum menjadi ‘alaqah.

Ibnu Aqil menyebutkan bahwa janin yang belum ditempati oleh ruh, di hari kiamat tidak akan dibangkitkan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pengugurannya bukan hal yang diharamkan. [4]

Kalau disimpulkan secara umum, dalil yang mereka gunakan adalah bahwa janin yang belum lagi memiliki nyawa belum bisa dikatakan sebagai manusia. Sebab belum ada ruhnya, dan tidaklah disebut sebagai manusia kecuali ada ruhnya.[5]

Maka pengugurannya sama sekali tidak terkait dengan pembunuhan, sebab pembunuhan adalah penghilangan nyawa. Sementara sejak awal janin itu memang belum ada nyawanya. Maka bagaimana mungkin pengguguran janin yang belum adanya nyawanya dikatakan sebagai pembunuhan?

2. Boleh Dengan Udzur

Pendapat kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa penguguran kehamilan hukumnya haram, namun dibolehkan manakala ada udzur syar’i. Pada hakikatnya pandangan ini merupakan pandangan resmi mazhab Al-Hanafiyah.

Di antara bentuk udzur syar’i dalam contoh kasus ini di masa lalu adalah wanita yang mendapatkan nafkahnya dari menyusui bayi orang lain. Bila produksi air susunya menjadi terhenti akibat kehamilannya, sehingga membuatnya tidak mampu mencari nafkah, maka kehamilannya dapat digugurkan. Hal ini dinukil dari pendapat Ibnu Wahban, yang mendasarkan kebolehkan pengguguran kandungan ini dengan keadaan darurat. [6]

Al-Khatib Asy-Syarbini, salah satu ulama mazhab Asy-Syafi’iyah, menukil dari Az-Zarkasyi menyebutkan bahwa bila seorang wanita terpaksa minum obat halal karena alasan darurat, namun obat itu ternyata beresiko menggugurkan kandungannya, maka dia tidak wajib untuk membayar diat kematian janinnya. [7]

Kalau kita perhatikan, contoh udzur syar’i yang diajukan oleh pendapat kedua ini sangat sederhana, yaitu sekedar tidak bisa mendapatkan nafkah dari menyusui bayi orang lain, maka sudah boleh dijadikan alasan untuk menggugurkan kandungan yang belum bernyawa.

Sekedar untuk diketahui bahwa salah satu budaya bangsa Arab di masa lalu adalah mencari nafkah dengan jalan menyusui bayi keluarga-keluarga berada. Mirip baby-sitter hari ini yang bekerja untuk gaji dan upah dari merawat bayi, hanya bedanya di masa lalu plus dengan menyusui langsung berupa ASI dari payudaranya langsung. Contohnya Rasulullah SAW sendiri dahulu disusui oleh pengasuhnya, yaitu Halimah As-Sa’diyah.

Kalau para wanita yang bekerja menyusui bayi ini sampai hamil, sudah bisa dipastikan produksi susunya akan terhenti. Maka mereka akan kehilangan pekerjaannya sekaligus penghasilannya. Maka dalam pandangan pendapat yang kedua ini, mereka boleh mengugurkan bayi yang belum ditiupkan nyawa.

Dengan logika uzdur syar’i di atas yang sebenarnya sangat ringan, kalau alasan pengugurannya lebih bersifat darurat seperti demi mempertahankan nyawa si ibu, tentu saja menjadi boleh hukumnya. Demikian juga dengan alasan untuk menghilangkan trauma akibat pemerksoaan, dengan menggunakan logika pendapat kedua ini, hukumnya menjadi masuk akan dan dibolehkan.

3. Makruh Mutlak

Pendapat ketiga adalah pendapat yang memakruhkan aborsi secara mutlak. Yang berpendapat makruh diantaranya adalah Ali bin Musa, salah satu ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah. Hal ini sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abdin dari Ali bin Musa bahwa hukumnya dimakruhkan untuk mengugurkan kehamilan, yaitu selama belum ditiupkan ruh ke dalam janin.

Alasannya karena air mani yang telah masuk ke dalam rahim itu merupakan bakal calon makhluk hidup. Sehingga dihukumi seolah-olah sebagai makhluk hidup, meskipun pada hakikatnya bukan makhluk hidup yang sesungguhnya. [8]

Sedangkan dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, pendapat ini merupakan salah satu ra’yu, yaitu selama dilakukan penguguran itu sebelum 40 hari usia kehamilan. [9]

Adapun di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, pendapat ini merupakan pendapat yang muhtamal. Al-Imam Ar-Ramli menyebutkan bahwa penguguran ini bukan sekedar khilaful-aula, melainkan muhtamal tanzih dan tahrim. Dan keharamannya menjadi bertambah manakala hal itu dilakukan menjelang ditiupkannya ruh. [10]

4. Haram Mutlak

Pendapat terakhir adalah pendapat yang mengharamkan secara mutlak. Maksudnya, apapun sebab dan alasan yang dikemukakan, tetap saja hukum aborsi adalah haram dan pelakunya berdosa. Walaupun untuk hal-hal yang bersifat darurat sekalipun.

Di kalangan ulama klasik, pendapat ini merupakan hal yang muktamad di dalam mazhab Al-Malikiyah. Ad-Dardir, salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah berfatwa tidak diperbolehkan mengeluarkan kembali air mani suami yang terlanjur masuk ke dalam rahim, walau pun sebelum 40 hari.

Ad-Dasuki mengomentari bahwa fatwa ini adalah fatwa yang muktamad di dalam mazhab Al-Malikiyah. Dan fatwa ini menunjukkan bahwa penguguran kehamilan itu apapun caranya dan kapanpun dilakukan, hukumnya haram.[11]

Ibnu Ruydi yang juga salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa apapun yang digugurkan oleh seorang wanita, maka hal itu merupakan jinayah. Baik yang dikeluarkan itu mudhghah atau ‘alaqah, asalkan diketahui bahwa bakalannya menjadi menjadi anak. [12]

Sementara yang mengharamkan secara mutlak di dalam mazhab Asy-syafi’iyah merupakan salah satu wajah. Alasannya karena meskipun belum bernyawa, namun nuthfah yang sudah menempati rahim itu pada hakikatnya sudah dipersiapkan untuk ditiupkan ruh di dalamnya dan berada pada proses terbentuknya makhluk hidup.[13]

Dan pendapat ini merupakan pendapat resmi mazhab Al-Hanabilah secara mutlak, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Jauzi yang juga merupakan dzhahirul-kalam dari Ibnu Aqil. Dan juga hal yang dapat disimpulkan dari perkataan Ibnu Qudamah serta pendapat para ulama hanbali lainnya.

Intinya mereka sepakat bahwa orang yang memukul perut wanita hamil sehingga menyebabkan keguguran, dibebani kaffarah dan ghurrah. Dan hukuman yang sama juga berlaku buat wanita hamil tersebut, manakala dia minum obat yang berefek terjadinya keguguran atas janinnya. [14]

Nampaknya kalau kita perhatikan secara seksama, pandangan para ulama kontemporer hari ini yang umumnya punya kecenderungan untuk mengharamkan aborsi apapun alasannya, sedikit banyak dipengaruhi oleh pendapat yang keempat ini.

Apalagi mengingat umumnya mereka sama sekali tidak membedakan apakah janin itu sudah bernyawa atau belum bernyawa, pokoknya dalam pandangan mereka hukumnya haram mutlak. Tidak ada celah sedikit pun untuk menghalalkannya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Fathul Qadir, jilid 2 hal. 495

[2] Hasyiaytu Ar-Rahawani ‘ala Syarhi Az-Zarqani, jilid 3 hal. 264

[3] Nihayatul Muhtaj, jilid 8 hal. 416

[4] Al-furu’, jilid 6 hal. 191

[5] Hasyiatu Ibnu Abdin, jilid 2 hal. 380

[6] Hasyiyatu Ibnu Abdin, jilid 2 hal. 1272

[7] Al-Iqna’ bi Hasyiayati Bujairimi, jilid 4 hal. 129

[8] Hasyiyatu Ibnu Abdin, jilid 2 hal. 80

[9] Hasyiyatu Ad-Dasuqi, jilid 2 hal. 266

[10] Nihayatul Al-Muhtaj, jilid 8 hal 416

[11] Asy-syarhu Al-Kabir bi Hasyiayti Ad-Dasuqi, jilid 2 hal. 266-267

[12] Bidayatu Al-Mjtahid wa Nihayatu Al-Muqtashid, jilid 2 hal. 453Rumah Fiqih Indonesia

[13] Hasyiyatu Asy-syarawani, jilid 6 hal. 248

[14] Al-Mughni, jilid 7 hal. 816

 

5/5 - (1 vote)
Previous Article

Bolehkan Pasangan Suami Istri Menonton Film Porno ?

Next Article

Bolehkah Mengintrupsi atau Menyela khutbah Jumat ?

Artikel Lainnya

Tinggalkan Balasan